Aku, Ayah Paruh Waktu - Cuma Berbagi

Aku, Ayah Paruh Waktu


Malam baru saja mengulas senyum. Dingin menyengat menyelimuti. Jemariku masih menari diatas tuts keyboard komputer. Memilih huruf demi huruf menjadi sebuah rangkaian kata. Sebagai hasil dari kolaborasi emosi dan rasioku.

Sesekali aku menguap. Selembar kantuk menyapa. Menundukan kelopak mata. Aku terpulas di atas bangku dibawah tatapan screen komputer yang tetap menyala menyedot energi listrik. Kepala terdongak ditopang sandaran kursi. Kedua tanganku terkulai di atas meja. Namun, pikiranku melayang jauh ke rumah.

“Bang, bangun subuh.” Suaraku pelan mengelus lembut wajang Si abang, anakku yang sulung.

“Emang udah jam berapa bi,” tanyanya sembari melek sebentar, berbalik dan merem lagi.

“Setengah lima bang,” kataku meraih kedua ketiaknya. Tanpa menunggu wajahnya segar sempurna, Aku menggendongnya ke kamar mandi.

“Sudah bangun, ayo, nanti Pak Adnan jemput, kamu sudah siap.” Tanganku menurunkannya.

Ketika guyuran air pada sendok pertama membasahi rambutnya, kelopak matanya membesar meneropongku dalam dalam. “Lho abi, koq ada di rumah?”

“Ini khan hari selasa, abi bukannya di kantor?” tanyanya lagi tanpa menunggu jawaban pertanyaan pertama.

“Bi, udah sana pergi ke kantor, nanti abi diomelin bos abi lagi,” tambahnya nyerocos membuatku terperangah. Ia menolak dan menepis gayung. “Prakkk…!” gayung jatuh. Akupun siuman.

“Astaghfirullah...” Aku merunduk. Setangkup oksigen kuhirup, mengisi ruang paru-paru untuk segera mengirim darah ke otak. Aku menggeliat.

Suasana kantor sudah senyap. Tinggal Imbang dan Joko yang sedang berjibaku dengan tata letak, lay out mediaku. Kembali, lintasan-lintasan ingatan mimpi singkat barusan coba aku review. Kedua telapak tanganku ku usap ke wajah, merenggangkan sejumlah otot yang semula tegang. Beberapa kali, leherku kurenggut sekadar menyegarkan.

“Lho abi koq ada di rumah.” Kalimat si abang terngiang-ngiang di genderang telingaku. Selanjutnya setelah itu, perasaan bersalah memeluki. Ada yang terasa nyeri di dadaku. Entah apa. Membuatku kepalaku jatuh tertunduk diatas meja disebelah keyboard. Terbayang kemudian wajah si abang dan si ade, dua putraku.

“Maafkan abi nak,” aku berdesah. Tenggorokan serasa pepat mengingat mereka berdua yang begitu mengharapkanku. Sementara aku, selalu pergi pagi pulang malam. Bahkan, kalau sudah deadline seperti hari ini, aku harus menginap di kantor dan meninggalkan mereka berdua. Bertiga dengan uminya.

Ada segumpal keprihatinan yang mengganjal pembuluh darahku di otak. Semestinya tidak begini. Akulah yang mestinya mendidik dan menemani mereka tumbuh. Bukan ibu Ani, pembantuku, seorang istri tukang becak.

Akulah yang semestinya membangunkan mereka untuk shalat subuh berjamaah. Akulah yang semestinya mengajak mereka ke masjid untuk shalat Jumat. Akulah yang selayaknya membawa mereka ke sawah bukannya membiarkan mereka menghabiskan waktunya di depan televisi. Akulah yang semestinya yang mengajarkan mereka alif ba ta dan a b c d. Akulah orangnya yang harus mengajarkan mereka mengenal Tuhannya. Akulah orangnya yang mestinya menjelaskan segala fenomena dunia ini. Akulah orangnya yang harus membawa mereka ke sawah dan ke sungai untuk kukenalkan kepada alam sekitar. Kepada capung, belalang dan lumpur sawah.

Akulah yang semestinya menjemput dan mengantar si abang ke sekolah. Bukannya, Pak Adnan, tukang ojek yang setiap hari membawa si abang ke sekolahnya. Akulah orangnya yang sewajarnya ada di depan rumah ketika ia pulang sekolah dan berteriak, “abi…abi…” Akulah orangnya yang harus menjelaskan kepada si abang saat ia mengirim surat cinta kepada teman wanitanya. Padahal , ia baru kelas satu SD.

Akulah yang semestinya berada di sampingnya ketika ia mengganggu adiknya. Akulah yang semestinya mengantarnya ke dokter saat ia panas.

Tapi, sayang. Aku tidak ada disana. Waktuku habis dimakan rapat, mengkoordinasi anak buah, membuat tulisan, mengedit dan memantau pekerjaan teman-teman redaktur. Aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri dan meninggalkan darah dagingku sendiri tumbuh dan berkembang. Aku selalu berkilah untuk menghibur diri sendiri bahwa apa yang ku lakukan demi pengabdianku kepada umat. Lalu, apakah kedua anakku juga bukan umat.

Aku bagaikan ayah paruh waktu yang datang dan pergi seharian. Seribu kalimat sayang dan segumpal materi yang kuberikan ternyata tak mampu menggantikan kehadiranku. Dan, waktu yang terhempas, tak mungkin lagi bisa aku ulangi. Tak bisa aku ganti dengan apapun.

“Abang,adik,… maafin abi ya nak. Abi tak mampu memberikan yang kamu harapkan. Abi tak kuasa untuk menghadapi kondisi ini nak. Abi punya tanggungjawab yang abi harus pikul. Abi sayang kamu.”

Tak terasa, tanganku yang kutelungkupkan dibawah wajah basah. Genangannya ternyata masih ada di kelopak mataku. Saat kutegakan badan, beberapa cc air mata menganak sungai. Tenggorokan kembali sarat oleh penyesalan dan rasa bersalah. “Robbana Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang lalai mengurus amanah yang engkau berikan. Lindungilah kedua anakku. Jadikanlah, mereka penolong agama-Mu seperti engkau jadikan Musa dan Harun.”

Aku menarik nafas. Disela saratnya tenggorokan, aku teringat kamu Nda, istriku sayang. Dipundak lemahmu semua beban ini kuberatkan. Kamulah satu-satunya yang bisa aku harapkan merawat dan menumbuhkembangkan dua pangeranku menjadi manusia.

Seperti kata penyair Kahlil Gibran, anak bagai busur panah yang meluncur deras menuju takdirnya. Anak kita pun akan berlari menuju alunan takdir hidupnya. Dan, disela-sela ketidakmampuanku, aku masih berharap busur panahku bisa melesat manis dalam aliran Tuhannya. Tentu, ia melangkah dengan panduan tanganmu, istriku.

0 Tanggapan untuk "Aku, Ayah Paruh Waktu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel