Lelaki di Tahun Keduapuluhlimanya
Friday, June 3, 2011
Tambahkan komentar
"Ya..., Umar memang tidak melihat kita, bu. Tapi Rabb-nya Umar senantiasa menatap kita." Masih terdengar di telinga Umar bin Khatab jawaban lembut tapi tajam dari seorang gadis kepada ibunya yang menyuruh agar ia mencampurkan air ke dalam susu yang akan dijualnya. Umar terpesona dengan keluhuran akhlak gadis, anak penjual susu yang dicuri dengarnya semalam, dan hari itu Umar berniat mengumpulkan putera-puteranya. Di hadapan putera-puteranya Umar mengutarakan keinginan agar gadis itu menjadi isteri dari salah satu puteranya. Pernikahan barakah akhirnya berlangsung antara salah seorang putera Umar dengan gadis tersebut. Dan muara dari kisah kasih ini adalah lahirnya Khalifah Rasyidah yang kelima, Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Khatab sebagai sosok bapak, dalam sepenggal kisah bijaknya di atas, mungkin sangat dirindukan oleh banyak anak-anak lelaki yang sudah ingin menikah. "Kapan ya, ayah memanggilku untuk menawarkan seorang gadis cerdik yang shalihah untuk menjadi isteriku" bayang mereka setelah membaca kisah Umar di atas. "Ah, andai ayahku adalah Umar..."
Pernikahan memang selalu dikesankan indah. Atau memang benar-benar indah. Terutama bagi mereka yang ingin segera mengalaminya. Seorang kawan bilang, dunia setelah pernikahan bagi para bujangan adalah alam ghaib yang penuh misteri. Keindahan dan kenikmatannya-juga pahit getirnya-hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah memasuki alam ghaib itu. Dan keindahan itu jadi lebih awal dirasakan jika tanpa disangka-sangka orang tua menawarkan "seseorang" yang sangat sesuai dengan kriteria yang diidamkan-dan tentunya kita dalam kondisi siap. Orang tua yang sangat memahami anaknya, seperti Umar bin Khatab.
Mungkin terlalu melankolis jika seorang lelaki mengharapkan penawaran dari orang tuanya. Tapi, mau gimana lagi, realita yang ada memaksa sikap melankolis itu bertunas. Kesiapan membangun rumah tangga selalu diidentikan dengan kesiapan materi, dan itu seringkali tidak dimiliki oleh kebanyakan lelaki seusia Rasulullah Saw.-ketika Beliau menikah-yang baru saja selesai kuliah. Memang kesiapan materi sangat penting untuk membangun mahligai rumah tangga, terutama kalau kita ingin mencontoh Rasulullah Saw. Selain usianya 25 tahun ketika beliau menikah, kita juga harus tau bahwa mahar Rasulullah untuk masing-masing isterinya tak kurang dari 400 dinar (atau kira-kira senilai 180 juta rupiah, untuk uang sekarang). Tapi itu juga bukan segalanya, bukankah Rasulullah juga menikahkan Sayidina Ali dengan puterinya, Fatimah Az-Zahra, hanya dengan mahar baju besi yang tidak seberapa?
Memasuki usia duapuluh lima tahun, seorang lelaki sering kali dihadapkan pada sebuah pertanyaan wajib, "kapan sih kamu nikah?" setiap orang selalu menanyakan hal tersebut. Atau kalau tidak, ia sendiri yang bertanya kepada diri sendiri. "Ya, kapan ya, aku nikah?"
Dalam lamunan, ketika seorang lelaki yang mendekati usia duapuluh lima tahun bervisualisasi tentang masa depannya, sering kali menciptakan gambaran ideal tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Bagaimana ia ingin menjadi suami dari isteri yang cerdik, cantik dan shalehah; bagaimana ia akan membahagiakan isterinya tersebut dengan memenuhi segala kebutuhannya; bagaimana ia juga akan senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya dengan memberi berbagai hadiah dan perhatian, tidak lupa untuk menjadi menantu yang terbaik bagi ibu-bapak mertua, juga menjadi ipar yang baik; bagaimana ia ingin bisa membangunkan rumah yang luas untuk keluarga kecilnya; bagaimana ia memberi nama putera-puterinya dengan nama-nama yang indah dan baik, mendidik mereka dengan didikan yang baik dan benar. Semuanya dilamunkan dengan sangat ideal dan indah.
Tapi, ketika visualisasinya selesai dan kembali mendarat di bumi ia mendapati realita yang tidak seindah lamunan. Ia pun sadar bahwa semua yang dilamunkannya bukan sesuatu mudah untuk diwujudkan. Tidak mudah mendapatkan isteri yang cantik luar dalam, sama susahnya dengan mendidik diri sendiri agar tampan luar dalam, atau bahkan lebih susah. Bukan perkara gampang mewujudkan kemapanan ekonomi bagi pebisnis pemula. Tidak murah membangun rumah luas dan nyaman untuk keluarga kecilnya. Lalu, tidak gampang juga membagi cinta untuk semua, anak-isteri, ayah-ibu, mertua, dan saudara-saudara. Seringkali segala keterbatasan yang dimiliki mendatangkan kesalah-pahaman bagi orang-orang yang dicintai. Mendidik anak-anak juga tidak semudah memilihkan nama yang indah dan baik untuk mereka. Semuanya perlu persiapan yang benar-benar matang. Dan visualisasi adalah satu tahap persiapan itu. Karena kalau dalam lamunan saja belum pernah ada, apalagi dalam kenyataan.
Dari sini kita temukan inti persoalannya: kesiapan. "Kematangan" banyak lelaki usia duapuluh lima tahun tidak beriringan dengan kesiapan mereka untuk survive di jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Ketidaksiapan secara finansial sering kali menjadi alasan utama untuk menunda pernikahan, padahal jawaban seorang kawan sangat bagus untuk menangkis alasan ini. Orang yang sudah bekerja sebelum menikah mungkin di-PHK , orang yang sudah berwiraswasta sejak masa lajang juga bisa bangkrut, kenapa mereka berani menikah? Sebaliknya, orang yang belum dapat kerja, setelah menikah mungkin dapat pekerjaan, orang yang masih belajar berwiraswasta, setelah menikah mungkin menjadi wiraswastawan yang berhasil, kenapa mereka takut menikah? Persoalannya adalah kepada siapa kita bertawakal? Apakah kita bertawakal kepada instansi tempat bekerja atau kepada Allah? Kalau kita tawakal kepada Allah yang Maha Memberi rizki, kenapa kita terlalu bersandar pada pekerjaan atau kesuksesan bisnis?
Sungguh, yang terpenting dari kesiapan itu bukan ketersediaan, melainkan mentalitas. Kesiapan mental untuk menghadapi apapun kondisi dan situasi kehidupan. Inilah inti ajaran tawakal. Ketersediaan akan ada habisnya, sedangkan mentalitas yang kuat bisa meyelamatkan kita dari segala bentuk ujian dan cobaan hidup. Sayangnya, mentalitas ini pula jarang ditemukan pada kebanyakan lelaki menjelang usia mereka yang keduapuluh lima tahun. Menambah lengkap ketidak-siapan mereka.
Mungkin inilah yang harus dipahami oleh semua lelaki yang mendekati usia duapuluh lima tahun tetapi masih ragu untuk memasuki "alam ghaib" pernikahan. Selain harus tahu juga bahwa usia duapuluh lima tahun yang sesuai contoh Rasulullah adalah duapuluh lima tahun dalam hitungan Tahun Hijriyah, atau sekitar duapuluh tiga tahun setengah dalam hitungan Tahun Masehi. Jadi, kalau sekarang sudah menjelang usia duapuluh lima tahun dalam hitungan Masehi, artinya sudah lewat setahun lebih dari usia Rasulullah ketika Beliau menikah. Nah lho!
Wallahu A'lam.
Umar bin Khatab sebagai sosok bapak, dalam sepenggal kisah bijaknya di atas, mungkin sangat dirindukan oleh banyak anak-anak lelaki yang sudah ingin menikah. "Kapan ya, ayah memanggilku untuk menawarkan seorang gadis cerdik yang shalihah untuk menjadi isteriku" bayang mereka setelah membaca kisah Umar di atas. "Ah, andai ayahku adalah Umar..."
Pernikahan memang selalu dikesankan indah. Atau memang benar-benar indah. Terutama bagi mereka yang ingin segera mengalaminya. Seorang kawan bilang, dunia setelah pernikahan bagi para bujangan adalah alam ghaib yang penuh misteri. Keindahan dan kenikmatannya-juga pahit getirnya-hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah memasuki alam ghaib itu. Dan keindahan itu jadi lebih awal dirasakan jika tanpa disangka-sangka orang tua menawarkan "seseorang" yang sangat sesuai dengan kriteria yang diidamkan-dan tentunya kita dalam kondisi siap. Orang tua yang sangat memahami anaknya, seperti Umar bin Khatab.
Mungkin terlalu melankolis jika seorang lelaki mengharapkan penawaran dari orang tuanya. Tapi, mau gimana lagi, realita yang ada memaksa sikap melankolis itu bertunas. Kesiapan membangun rumah tangga selalu diidentikan dengan kesiapan materi, dan itu seringkali tidak dimiliki oleh kebanyakan lelaki seusia Rasulullah Saw.-ketika Beliau menikah-yang baru saja selesai kuliah. Memang kesiapan materi sangat penting untuk membangun mahligai rumah tangga, terutama kalau kita ingin mencontoh Rasulullah Saw. Selain usianya 25 tahun ketika beliau menikah, kita juga harus tau bahwa mahar Rasulullah untuk masing-masing isterinya tak kurang dari 400 dinar (atau kira-kira senilai 180 juta rupiah, untuk uang sekarang). Tapi itu juga bukan segalanya, bukankah Rasulullah juga menikahkan Sayidina Ali dengan puterinya, Fatimah Az-Zahra, hanya dengan mahar baju besi yang tidak seberapa?
Memasuki usia duapuluh lima tahun, seorang lelaki sering kali dihadapkan pada sebuah pertanyaan wajib, "kapan sih kamu nikah?" setiap orang selalu menanyakan hal tersebut. Atau kalau tidak, ia sendiri yang bertanya kepada diri sendiri. "Ya, kapan ya, aku nikah?"
Dalam lamunan, ketika seorang lelaki yang mendekati usia duapuluh lima tahun bervisualisasi tentang masa depannya, sering kali menciptakan gambaran ideal tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Bagaimana ia ingin menjadi suami dari isteri yang cerdik, cantik dan shalehah; bagaimana ia akan membahagiakan isterinya tersebut dengan memenuhi segala kebutuhannya; bagaimana ia juga akan senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya dengan memberi berbagai hadiah dan perhatian, tidak lupa untuk menjadi menantu yang terbaik bagi ibu-bapak mertua, juga menjadi ipar yang baik; bagaimana ia ingin bisa membangunkan rumah yang luas untuk keluarga kecilnya; bagaimana ia memberi nama putera-puterinya dengan nama-nama yang indah dan baik, mendidik mereka dengan didikan yang baik dan benar. Semuanya dilamunkan dengan sangat ideal dan indah.
Tapi, ketika visualisasinya selesai dan kembali mendarat di bumi ia mendapati realita yang tidak seindah lamunan. Ia pun sadar bahwa semua yang dilamunkannya bukan sesuatu mudah untuk diwujudkan. Tidak mudah mendapatkan isteri yang cantik luar dalam, sama susahnya dengan mendidik diri sendiri agar tampan luar dalam, atau bahkan lebih susah. Bukan perkara gampang mewujudkan kemapanan ekonomi bagi pebisnis pemula. Tidak murah membangun rumah luas dan nyaman untuk keluarga kecilnya. Lalu, tidak gampang juga membagi cinta untuk semua, anak-isteri, ayah-ibu, mertua, dan saudara-saudara. Seringkali segala keterbatasan yang dimiliki mendatangkan kesalah-pahaman bagi orang-orang yang dicintai. Mendidik anak-anak juga tidak semudah memilihkan nama yang indah dan baik untuk mereka. Semuanya perlu persiapan yang benar-benar matang. Dan visualisasi adalah satu tahap persiapan itu. Karena kalau dalam lamunan saja belum pernah ada, apalagi dalam kenyataan.
Dari sini kita temukan inti persoalannya: kesiapan. "Kematangan" banyak lelaki usia duapuluh lima tahun tidak beriringan dengan kesiapan mereka untuk survive di jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Ketidaksiapan secara finansial sering kali menjadi alasan utama untuk menunda pernikahan, padahal jawaban seorang kawan sangat bagus untuk menangkis alasan ini. Orang yang sudah bekerja sebelum menikah mungkin di-PHK , orang yang sudah berwiraswasta sejak masa lajang juga bisa bangkrut, kenapa mereka berani menikah? Sebaliknya, orang yang belum dapat kerja, setelah menikah mungkin dapat pekerjaan, orang yang masih belajar berwiraswasta, setelah menikah mungkin menjadi wiraswastawan yang berhasil, kenapa mereka takut menikah? Persoalannya adalah kepada siapa kita bertawakal? Apakah kita bertawakal kepada instansi tempat bekerja atau kepada Allah? Kalau kita tawakal kepada Allah yang Maha Memberi rizki, kenapa kita terlalu bersandar pada pekerjaan atau kesuksesan bisnis?
Sungguh, yang terpenting dari kesiapan itu bukan ketersediaan, melainkan mentalitas. Kesiapan mental untuk menghadapi apapun kondisi dan situasi kehidupan. Inilah inti ajaran tawakal. Ketersediaan akan ada habisnya, sedangkan mentalitas yang kuat bisa meyelamatkan kita dari segala bentuk ujian dan cobaan hidup. Sayangnya, mentalitas ini pula jarang ditemukan pada kebanyakan lelaki menjelang usia mereka yang keduapuluh lima tahun. Menambah lengkap ketidak-siapan mereka.
Mungkin inilah yang harus dipahami oleh semua lelaki yang mendekati usia duapuluh lima tahun tetapi masih ragu untuk memasuki "alam ghaib" pernikahan. Selain harus tahu juga bahwa usia duapuluh lima tahun yang sesuai contoh Rasulullah adalah duapuluh lima tahun dalam hitungan Tahun Hijriyah, atau sekitar duapuluh tiga tahun setengah dalam hitungan Tahun Masehi. Jadi, kalau sekarang sudah menjelang usia duapuluh lima tahun dalam hitungan Masehi, artinya sudah lewat setahun lebih dari usia Rasulullah ketika Beliau menikah. Nah lho!
Wallahu A'lam.
0 Tanggapan untuk "Lelaki di Tahun Keduapuluhlimanya"
Post a Comment