Kecintaan Kepada Rasulullah
Sunday, February 13, 2011
Tambahkan komentar
Seperti yang dituturkan oleh al-Baghawi bahwa Tsauban adalah budak Rasulullah yang sangat cinta sekali pada beliau, tetapi sedikit kesabarannya. Suatu hari, saat Rasulullah menjumpainya, serta-merta raut wajahnya berubah.
Lalu Rasulullah bertanya padanya, ''Mengapa rona wajahmu berubah?'' Jawabnya, ''Saya tidak sakit, ya Rasulullah, kecuali hanya saya tidak dapat memandangmu. Saya merasa begitu sepi dan dicekam ketakutan yang luar biasa. Ketakutan dan kesepian itu baru hilang sampai saat saya berjumpa denganmu. Lalu saya ingat pada akhirat dan saya pun kembali diliputi oleh rasa takut kalau-kalau saya tidak dapat melihat engkau karena engkau diangkat dan dikumpulkan dengan para Nabi lainnya. Sedangkan saya, jika saya masuk surga mungkin saya tidak bisa tinggal dekat denganmu. Namun, jika tidak masuk surga, tentu saya tidak akan dapat memandangmu lagi selama-lamanya.''
Setelah itu, turunlah ayat: ''Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang jujur, orang-orang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.'' (QS An-Nisa: 69).
Itulah sepenggal cerita cinta para sahabat kepada Nabinya. Sebuah cinta yang tulus suci, yang tiada tendensi dan kepentingan lain kecuali, rida Allah. Jauh sebelumnya, orang-orang Quraisy sangat terpesona pada penampilan Nabi. Keterpesonaan itu kian menguat setelah masyarakat Quraisy memeluk Islam, sehingga banyak berinteraksi dengan Nabi.
Untuk menjelmakan ketulusan cintanya itu, para sahabat tidak hanya mengorbankan tenaga, fisik, dan harta, tetapi juga mempersembahkan nyawa. Zaid bin Datsinah hanyalah contoh kecil dari para sahabat yang namanya terukir sebagai martir demi menebus cintanya pada Nabi.
Abu Sofyan, yang kala itu masih musyrik, berkata kepada Zaid bin Datsinah (yang akan dibunuh), ''Kau sangat hina Zaid! Sukakah kau, jika kini Muhammad menggantikan posisimu dengan dipenggal batang lehernya? Dan kau kembali bersama keluargamu?''
Jawab Zaid, ''Demi Allah! Aku tidak akan senang jika Nabi kini yang berada di tempatnya terkena duri sekalipun, sedang aku duduk bersama keluargaku!''
Mendengar jawaban itu, Abu Sofyan pun berujar, ''Tak pernah kulihat seorang manusia mencintai manusia lainnya, seperti para sahabat Muhammad mencintai Muhammad.''
Kini bandingkan dengan cinta kita. Alih-alih mengorbankan nyawa, kadang mengamalkan sunahnya pun kita enggan.
Lalu Rasulullah bertanya padanya, ''Mengapa rona wajahmu berubah?'' Jawabnya, ''Saya tidak sakit, ya Rasulullah, kecuali hanya saya tidak dapat memandangmu. Saya merasa begitu sepi dan dicekam ketakutan yang luar biasa. Ketakutan dan kesepian itu baru hilang sampai saat saya berjumpa denganmu. Lalu saya ingat pada akhirat dan saya pun kembali diliputi oleh rasa takut kalau-kalau saya tidak dapat melihat engkau karena engkau diangkat dan dikumpulkan dengan para Nabi lainnya. Sedangkan saya, jika saya masuk surga mungkin saya tidak bisa tinggal dekat denganmu. Namun, jika tidak masuk surga, tentu saya tidak akan dapat memandangmu lagi selama-lamanya.''
Setelah itu, turunlah ayat: ''Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang jujur, orang-orang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.'' (QS An-Nisa: 69).
Itulah sepenggal cerita cinta para sahabat kepada Nabinya. Sebuah cinta yang tulus suci, yang tiada tendensi dan kepentingan lain kecuali, rida Allah. Jauh sebelumnya, orang-orang Quraisy sangat terpesona pada penampilan Nabi. Keterpesonaan itu kian menguat setelah masyarakat Quraisy memeluk Islam, sehingga banyak berinteraksi dengan Nabi.
Untuk menjelmakan ketulusan cintanya itu, para sahabat tidak hanya mengorbankan tenaga, fisik, dan harta, tetapi juga mempersembahkan nyawa. Zaid bin Datsinah hanyalah contoh kecil dari para sahabat yang namanya terukir sebagai martir demi menebus cintanya pada Nabi.
Abu Sofyan, yang kala itu masih musyrik, berkata kepada Zaid bin Datsinah (yang akan dibunuh), ''Kau sangat hina Zaid! Sukakah kau, jika kini Muhammad menggantikan posisimu dengan dipenggal batang lehernya? Dan kau kembali bersama keluargamu?''
Jawab Zaid, ''Demi Allah! Aku tidak akan senang jika Nabi kini yang berada di tempatnya terkena duri sekalipun, sedang aku duduk bersama keluargaku!''
Mendengar jawaban itu, Abu Sofyan pun berujar, ''Tak pernah kulihat seorang manusia mencintai manusia lainnya, seperti para sahabat Muhammad mencintai Muhammad.''
Kini bandingkan dengan cinta kita. Alih-alih mengorbankan nyawa, kadang mengamalkan sunahnya pun kita enggan.
0 Tanggapan untuk "Kecintaan Kepada Rasulullah"
Post a Comment