Merindukan Datangnya Thalut
Monday, February 21, 2011
Tambahkan komentar
LHO, KOK THALUT?
Konon, di sebuah negeri yang dipimpin ‘Jalut,’ kondisi ekonomi memburuk akibat penguasa-penguasa yang rakus harta. O, bukan hanya harta. Tiga ‘ta’ semuanya. Malah mungkin lebih dari tiga. Harta, tahta dan wanita. Negeri itu --kata orang-- tingkat pendapatan per kapita penduduknya jauh di bawah standar kelayakan. Rakyat menjadi pengungsi dan -yang sedikit lebih beruntung-kuli di negeri mereka sendiri yang mahsyur di negeri manca sebagai negeri ingkang kaeka adi dasapurwa, gemah ripah lohjinawi.
Konon, pemerintahan ‘Raja Jalut’ banyak campur tangan masalah perekonomian rakyat, sektor-sektor vital negara dan sebagainya, bukan untuk memperbaikinya, tetapi untuk mencuri-curi kesempatan meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Hal ini banyak ditiru oleh para pejabat dan menteri-menterinya.
Bagaimanapun, sudah menjadi rahasia umum bahwa kalau pemimpin berbuat salah itu akan dengan cepat ditiru oleh umatnya, namun sebaliknya kalau berbuat benar. Idiom ‘Guru kencing berdiri murid kencing berlari’ tidak akan berlaku sebaliknya apabila kata ‘kencing’ yang berasosiasi-- negatif-diubah menjadi kata kerja yang memiliki personifikasi ‘positif.’ Sebagai contoh, jika seorang guru rajin beribadah dengan kategori ‘berdiri,’ maka jangan harap murid-muridnya akan beribadah dengan taraf ‘berlari.’ Karenanya, secara moral, seorang pemimpin dituntut untuk bisa menjadi teladan. Ya, kendati tak ideal-ideal amat, mirip-mirip jadi, laah....
Di negeri yang dipimpin oleh ‘Jalut’ itu, suku mayoritas yang seharusnya sangat wajar menjadi pihak berpengaruh dan memiliki konstelasi yang besar dalam kancah perpolitikan dalam negeri, malah justru dianaktirikan. Jika suku ‘mayoritas’ tadi memperoleh porsi yang cukup besar-namun sebenarnya masih bisa dikatakan wajar mengingat jumlahnya yang mayoritas-akan banyak orang protes bahwa mereka mencoba mengudeta, sewenang-wenang terhadap kaum minoritas, membuat makar dan sebagainya.
Jika dikategorikan sebagai seorang ‘ibu,’ si ‘Jalut’ tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah dari dua orang anaknya yang bertengkar. Jalut salah dalam mengonsep cinta dan keberpihakan. Cinta dan keberpihakan memang batasannya hanya setipis kertas. Yang menjadi standar adalah, kalau si bungsu itu harus dibela. Bahwa yang ‘sedikit’ itu harus didukung dan diberi prioritas-prioritas-kendati sebenarnya benar jika proporsinya tepat. Jika si kecil nakal kepada si besar, dan si besar-karena jengkel-memukul si kecil, sang ibu akan meradang dan membentak, “Kamu jangan mentang-mentang kuat, main pukul seenaknya pada adikmu.” Kalau si besar minta sesuatu, sang ibu akan berkata, “Apa kamu tidak mau ngalah sama adikmu?” Kalau dalam waktu yang sama, si besar dan si kecil memiliki keperluan yang sama atas sesuatu yang sama, maka ‘si besar’ akan kehilangan haknya oleh sebab kewajiban ngalah sebagai ‘yang lebih besar.’
Ini artinya, si besar dituntut untuk selalu menyesuaikan dengan ‘si kecil,’ tak boleh memiliki pendapat dan keinginan yang berseberangan dengan ‘si kecil,’ sebab toh kalau ia memaksa untuk ‘berbeda,’ ia diwajibkan untuk ‘toleransi’ kepada ‘si kecil.’ Kalau nekat, lantas ‘si kecil’ melakukan aksi walk-out, alamat ‘si besar’ yang akan kena marah orang tuanya.
Ngalah memang tidak berarti kalah, ini kalimat penghibur untuk orang-orang yang terpinggirkan, apalagi terpinggirkan bukan oleh sebab ‘ketidakmampuan,’ tetapi justru oleh karena ‘kemampuan.’ Kalau orang ‘tidak mampu’ lantas tidak bisa berbuat apa-apa, itu wajar. Namun, betapa merananya orang-orang yang ‘mampu’ namun ia tak bisa berbuat apa-apa sebab kalau sedikit saja dia berbuat, kalangan ‘tidak mampu’ akan dengan cepat meradang menganggap itu sebagai bagian dari arogansi, pelanggaran hak asasi dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan hal itu. Mengalah memang belum berarti kalah, tetapi mengalah itu jelas menderita. Ibarat pepatah Jawa, “Wong ngalah dhuwur wekasane,” (Mengalah itu akan baik pada akhirnya,) betapa hanya sedikit perbedaannya dengan “Wong ngalah dhuwur rekasane (Orang yang ngalah itu tinggi tingkat kesusahannya.)”
Konon, demi mendapat simpati rakyat dan dunia, Raja Jalut mengambil kebijakan ketat dan represif terhadap suku mayoritas. Ini semua tentu saja dilakukan serapi mungkin. Apalagi, ternyata aparat-aparat yang ia miliki justru berasal dari kaum minoritas. Mengapa demikian? Alasannya simpel. Dia berusaha bersikap ‘adil’ soalnya kaum minoritas itu mendapat porsi kecil dalam pemerintahan-pemerintahan sebelumnya-yang sekali lagi wajar soalnya jumlah mereka memang minoritas. Masa iya, sih, negara ini akan selalu dipimpin oleh orang dari suku ‘anu’?
Tapi, nyatanya, Jalut tidak begitu mahir memainkan kemudi dari kapal tambun dengan kain layar yang telah compang-camping ini. Hobinya jalan-jalan berpesiar dengan ‘kapal kronis’ itu membuat sang kapal ‘kelelahan’ sebab sebenarnya sudah saatnya ia beristirahat sebentar di dermaga dan memperbaiki badan. Kebijakan-kebijakan Raja Jalut sama sekali tidak memihak rakyat kecil.
Konon, ia merasa sudah cukup negara men-subsidi kebutuhan pokok rakyatnya seperti BBM, listrik dan telepon. Sudah saatnya rakyat mendapatkan harga yang ‘sesungguhnya.’ Utang negara sudah membengkak, ekonominya morat-marit, dan tidak bisa tidak, subsidi yang -menurutnya-tidak perlu itu harus dicabut, biar negara bisa mulai mencicil utang. Sementara, dari pos lain mengalir dana triliunan untuk foya-foya dan pesta ‘kecil’ bersama keluarga dan teman dekat. Ia masih bisa memaafkan, toh, hanya sekali ini ia melakukannya. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Belum tentu besok hari ia masih menjadi raja, bukan?
Oya, ada satu lagi ‘kegemaran aneh’ dari raja Jalut. Ialah dia doyan banget berperang. Mungkin karena dia bersahabat dekat dengan raja-raja yang doyan perang, maka dia pun gemar pula berperang. Konon, karena belum begitu memiliki keberanian untuk menyerang kerajaan lain, sebagai latihan, ia menyerang rakyatnya sendiri, berperang dengan rakyatnya. Ya, itung-itung latihan.
Kegemarannya akan perang itu secara psikologis membuat ia memiliki kekhawatiran yang besar terhadap keamanan teritorialnya. Ia memiliki ‘prasangka’ yang hampir masuk dalam kategori ‘paranoid’ bahwa teman-temannya bisa saja sewaktu-waktu menyerang. Karena kekhawatiran yang terlalu besar itu, ia mati-matian membeli peralatan tempur berharga ‘wah’ yang menyerap begitu banyak anggaran negara atas sektor-sektor vital yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Inilah alasan mengapa listrik naik, minyak naik, apa-apa maunya mengikut naik.
Karena kebijakan-kebijakannya yang kacau, tak heran, massa kecewa. Seperti arus listrik yang tersendat-sendat, menimbulkan padatan panas di titik-titik rawan. Kaum cendekia dari negeri yang dipimpin Jalut itu turun ke jalan. Berdemo. Harga harus diturunkan untuk memperbaiki taraf ekonomi rakyat. Penjualan asset-asset negara harus dicegah demi kepentingan anak cucu bangsa yang akan lahir kemudian. Sekolah yang mencetak aparat-aparat tak berhati nurani harus dihapuskan sebab negeri ini telah lama rindu datang Al Khatab atau Sultan Saladin-pemimpin-pemimpin abad terdahulu yang memenuhi tertorialnya dengan cinta dan kasih sayang.
Ya... demo telah belangsung berhari-hari. Mereka turun ke jalan, meneriakkan yel-yel, “Turunkan Jalut dan wakilnya!” Rakyat sungguh sudah muak dengan kepemimpinannya.
Saya sedang meliput berita demonya rakyat Jalut ini ke lembar-lembar Al Baqarah. Inilah, saya turunkan laporan pandangan mata seputar lokasi kejadian.....
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani israil sesudah Nabi Musa, ketika mereka berkata kepada nabi mereka, ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.’ Nabi mereka menjawab, ‘Bisa jadi jika nanti diwajibkan atas kamu berperang, kamu tidak akan berperang.’ Mereka menjawab, ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman dan anak-anak kami?' (Al Baqarah: 246)
Yang mereka perlukan saat ini adalah seorang ‘pemimpin yang akan memimpin kami berperang di jalan-Nya.’ Sebuah semangat yang alirnya mengalahkan air bah, tiupnya menelan angin beliung. Semangat yang ‘seakan-akan’ mampu melipat tujuh langit dan meneguk kering tujuh laut.
Mengapa? Karena semangat perlawanan itu tersulut dan berminyak dendam, ketertekanan, dan keinginan untuk bebas merdeka. Semangat yang menjadi kerinduan bumi berabad-abad, membangunkan biji-biji yang tertanam di tanah, menjagakan daun-daun yang menggulung tidur oleh kerontang bertahun-tahun. Ada yang bergerk dan tumbuh. Bahkan, keraguan yang tumbuh dalam hati sang Nabi pun terbantah, tak ada tempat untuk sangsi atas semangat yang telah membakar langit dan cakrawala. “Maka, tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka.” (Al Baqarah: 246)
Sungguh! Dramatis. Mengapa sampai hal ini terjadi? Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari perjuangan setelah sebelumnya mereka berkobar-kobar sedemikian rupa?
Inilah seleksi Allah. Seleksi yang alamiah dan begitulah memang sunatullah yang telah berlaku berbilang-bilang abad.
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak memiliki kekayaan yang cukup?’” (QS. Al Baqarah: 247)
Maka sungguhlah benar apa yang disitir oleh Baginda Rasul Muhammad sepulang dari Lembah Uhud. Bahwa medan Uhud adalah medan perang yang ‘kecil.’ Akan segera menghadang medan yang jauh lebih besar, sebab medan itu terbentang di sepanjang diri dan waktu; nafsu.
Kedengkian, kesombongan, ketakaburan... -itulah musuh yang lebih kuat dari musuh Rasulullah di Bukit Uhud-- terlalu sering melenakan kita, membutakan pandangan kita pada ayat-ayat-Nya yang nyata.
Ketika kita merasa besar, maka semua yang di depan kita menjadi bernilai kecil. Lantas berlanjutlah perasaan kita terhadap yang kecil itu cenderung meremehkan dan mengecilkan. Perasaan takabur itulah yang telah membutakan para reformis penentang Jalut dari melihat tanda ‘pengangkatan Thalut’ oleh Allah. Maka, betapa ruginya. Terlewat mereka mengenali Thalut, terpisah juga mereka dari barisan yang dijanjikan Allah kemenangan.
Aduhai, Thalut... janganlah kiranya engkau terhalang dari pandangan mataku yang tak kunjung selamat dari rasa takabur.
Konon, di sebuah negeri yang dipimpin ‘Jalut,’ kondisi ekonomi memburuk akibat penguasa-penguasa yang rakus harta. O, bukan hanya harta. Tiga ‘ta’ semuanya. Malah mungkin lebih dari tiga. Harta, tahta dan wanita. Negeri itu --kata orang-- tingkat pendapatan per kapita penduduknya jauh di bawah standar kelayakan. Rakyat menjadi pengungsi dan -yang sedikit lebih beruntung-kuli di negeri mereka sendiri yang mahsyur di negeri manca sebagai negeri ingkang kaeka adi dasapurwa, gemah ripah lohjinawi.
Konon, pemerintahan ‘Raja Jalut’ banyak campur tangan masalah perekonomian rakyat, sektor-sektor vital negara dan sebagainya, bukan untuk memperbaikinya, tetapi untuk mencuri-curi kesempatan meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Hal ini banyak ditiru oleh para pejabat dan menteri-menterinya.
Bagaimanapun, sudah menjadi rahasia umum bahwa kalau pemimpin berbuat salah itu akan dengan cepat ditiru oleh umatnya, namun sebaliknya kalau berbuat benar. Idiom ‘Guru kencing berdiri murid kencing berlari’ tidak akan berlaku sebaliknya apabila kata ‘kencing’ yang berasosiasi-- negatif-diubah menjadi kata kerja yang memiliki personifikasi ‘positif.’ Sebagai contoh, jika seorang guru rajin beribadah dengan kategori ‘berdiri,’ maka jangan harap murid-muridnya akan beribadah dengan taraf ‘berlari.’ Karenanya, secara moral, seorang pemimpin dituntut untuk bisa menjadi teladan. Ya, kendati tak ideal-ideal amat, mirip-mirip jadi, laah....
Di negeri yang dipimpin oleh ‘Jalut’ itu, suku mayoritas yang seharusnya sangat wajar menjadi pihak berpengaruh dan memiliki konstelasi yang besar dalam kancah perpolitikan dalam negeri, malah justru dianaktirikan. Jika suku ‘mayoritas’ tadi memperoleh porsi yang cukup besar-namun sebenarnya masih bisa dikatakan wajar mengingat jumlahnya yang mayoritas-akan banyak orang protes bahwa mereka mencoba mengudeta, sewenang-wenang terhadap kaum minoritas, membuat makar dan sebagainya.
Jika dikategorikan sebagai seorang ‘ibu,’ si ‘Jalut’ tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah dari dua orang anaknya yang bertengkar. Jalut salah dalam mengonsep cinta dan keberpihakan. Cinta dan keberpihakan memang batasannya hanya setipis kertas. Yang menjadi standar adalah, kalau si bungsu itu harus dibela. Bahwa yang ‘sedikit’ itu harus didukung dan diberi prioritas-prioritas-kendati sebenarnya benar jika proporsinya tepat. Jika si kecil nakal kepada si besar, dan si besar-karena jengkel-memukul si kecil, sang ibu akan meradang dan membentak, “Kamu jangan mentang-mentang kuat, main pukul seenaknya pada adikmu.” Kalau si besar minta sesuatu, sang ibu akan berkata, “Apa kamu tidak mau ngalah sama adikmu?” Kalau dalam waktu yang sama, si besar dan si kecil memiliki keperluan yang sama atas sesuatu yang sama, maka ‘si besar’ akan kehilangan haknya oleh sebab kewajiban ngalah sebagai ‘yang lebih besar.’
Ini artinya, si besar dituntut untuk selalu menyesuaikan dengan ‘si kecil,’ tak boleh memiliki pendapat dan keinginan yang berseberangan dengan ‘si kecil,’ sebab toh kalau ia memaksa untuk ‘berbeda,’ ia diwajibkan untuk ‘toleransi’ kepada ‘si kecil.’ Kalau nekat, lantas ‘si kecil’ melakukan aksi walk-out, alamat ‘si besar’ yang akan kena marah orang tuanya.
Ngalah memang tidak berarti kalah, ini kalimat penghibur untuk orang-orang yang terpinggirkan, apalagi terpinggirkan bukan oleh sebab ‘ketidakmampuan,’ tetapi justru oleh karena ‘kemampuan.’ Kalau orang ‘tidak mampu’ lantas tidak bisa berbuat apa-apa, itu wajar. Namun, betapa merananya orang-orang yang ‘mampu’ namun ia tak bisa berbuat apa-apa sebab kalau sedikit saja dia berbuat, kalangan ‘tidak mampu’ akan dengan cepat meradang menganggap itu sebagai bagian dari arogansi, pelanggaran hak asasi dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan hal itu. Mengalah memang belum berarti kalah, tetapi mengalah itu jelas menderita. Ibarat pepatah Jawa, “Wong ngalah dhuwur wekasane,” (Mengalah itu akan baik pada akhirnya,) betapa hanya sedikit perbedaannya dengan “Wong ngalah dhuwur rekasane (Orang yang ngalah itu tinggi tingkat kesusahannya.)”
Konon, demi mendapat simpati rakyat dan dunia, Raja Jalut mengambil kebijakan ketat dan represif terhadap suku mayoritas. Ini semua tentu saja dilakukan serapi mungkin. Apalagi, ternyata aparat-aparat yang ia miliki justru berasal dari kaum minoritas. Mengapa demikian? Alasannya simpel. Dia berusaha bersikap ‘adil’ soalnya kaum minoritas itu mendapat porsi kecil dalam pemerintahan-pemerintahan sebelumnya-yang sekali lagi wajar soalnya jumlah mereka memang minoritas. Masa iya, sih, negara ini akan selalu dipimpin oleh orang dari suku ‘anu’?
Tapi, nyatanya, Jalut tidak begitu mahir memainkan kemudi dari kapal tambun dengan kain layar yang telah compang-camping ini. Hobinya jalan-jalan berpesiar dengan ‘kapal kronis’ itu membuat sang kapal ‘kelelahan’ sebab sebenarnya sudah saatnya ia beristirahat sebentar di dermaga dan memperbaiki badan. Kebijakan-kebijakan Raja Jalut sama sekali tidak memihak rakyat kecil.
Konon, ia merasa sudah cukup negara men-subsidi kebutuhan pokok rakyatnya seperti BBM, listrik dan telepon. Sudah saatnya rakyat mendapatkan harga yang ‘sesungguhnya.’ Utang negara sudah membengkak, ekonominya morat-marit, dan tidak bisa tidak, subsidi yang -menurutnya-tidak perlu itu harus dicabut, biar negara bisa mulai mencicil utang. Sementara, dari pos lain mengalir dana triliunan untuk foya-foya dan pesta ‘kecil’ bersama keluarga dan teman dekat. Ia masih bisa memaafkan, toh, hanya sekali ini ia melakukannya. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Belum tentu besok hari ia masih menjadi raja, bukan?
Oya, ada satu lagi ‘kegemaran aneh’ dari raja Jalut. Ialah dia doyan banget berperang. Mungkin karena dia bersahabat dekat dengan raja-raja yang doyan perang, maka dia pun gemar pula berperang. Konon, karena belum begitu memiliki keberanian untuk menyerang kerajaan lain, sebagai latihan, ia menyerang rakyatnya sendiri, berperang dengan rakyatnya. Ya, itung-itung latihan.
Kegemarannya akan perang itu secara psikologis membuat ia memiliki kekhawatiran yang besar terhadap keamanan teritorialnya. Ia memiliki ‘prasangka’ yang hampir masuk dalam kategori ‘paranoid’ bahwa teman-temannya bisa saja sewaktu-waktu menyerang. Karena kekhawatiran yang terlalu besar itu, ia mati-matian membeli peralatan tempur berharga ‘wah’ yang menyerap begitu banyak anggaran negara atas sektor-sektor vital yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Inilah alasan mengapa listrik naik, minyak naik, apa-apa maunya mengikut naik.
Karena kebijakan-kebijakannya yang kacau, tak heran, massa kecewa. Seperti arus listrik yang tersendat-sendat, menimbulkan padatan panas di titik-titik rawan. Kaum cendekia dari negeri yang dipimpin Jalut itu turun ke jalan. Berdemo. Harga harus diturunkan untuk memperbaiki taraf ekonomi rakyat. Penjualan asset-asset negara harus dicegah demi kepentingan anak cucu bangsa yang akan lahir kemudian. Sekolah yang mencetak aparat-aparat tak berhati nurani harus dihapuskan sebab negeri ini telah lama rindu datang Al Khatab atau Sultan Saladin-pemimpin-pemimpin abad terdahulu yang memenuhi tertorialnya dengan cinta dan kasih sayang.
Ya... demo telah belangsung berhari-hari. Mereka turun ke jalan, meneriakkan yel-yel, “Turunkan Jalut dan wakilnya!” Rakyat sungguh sudah muak dengan kepemimpinannya.
Saya sedang meliput berita demonya rakyat Jalut ini ke lembar-lembar Al Baqarah. Inilah, saya turunkan laporan pandangan mata seputar lokasi kejadian.....
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani israil sesudah Nabi Musa, ketika mereka berkata kepada nabi mereka, ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.’ Nabi mereka menjawab, ‘Bisa jadi jika nanti diwajibkan atas kamu berperang, kamu tidak akan berperang.’ Mereka menjawab, ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman dan anak-anak kami?' (Al Baqarah: 246)
Yang mereka perlukan saat ini adalah seorang ‘pemimpin yang akan memimpin kami berperang di jalan-Nya.’ Sebuah semangat yang alirnya mengalahkan air bah, tiupnya menelan angin beliung. Semangat yang ‘seakan-akan’ mampu melipat tujuh langit dan meneguk kering tujuh laut.
Mengapa? Karena semangat perlawanan itu tersulut dan berminyak dendam, ketertekanan, dan keinginan untuk bebas merdeka. Semangat yang menjadi kerinduan bumi berabad-abad, membangunkan biji-biji yang tertanam di tanah, menjagakan daun-daun yang menggulung tidur oleh kerontang bertahun-tahun. Ada yang bergerk dan tumbuh. Bahkan, keraguan yang tumbuh dalam hati sang Nabi pun terbantah, tak ada tempat untuk sangsi atas semangat yang telah membakar langit dan cakrawala. “Maka, tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka.” (Al Baqarah: 246)
Sungguh! Dramatis. Mengapa sampai hal ini terjadi? Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari perjuangan setelah sebelumnya mereka berkobar-kobar sedemikian rupa?
Inilah seleksi Allah. Seleksi yang alamiah dan begitulah memang sunatullah yang telah berlaku berbilang-bilang abad.
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak memiliki kekayaan yang cukup?’” (QS. Al Baqarah: 247)
Maka sungguhlah benar apa yang disitir oleh Baginda Rasul Muhammad sepulang dari Lembah Uhud. Bahwa medan Uhud adalah medan perang yang ‘kecil.’ Akan segera menghadang medan yang jauh lebih besar, sebab medan itu terbentang di sepanjang diri dan waktu; nafsu.
Kedengkian, kesombongan, ketakaburan... -itulah musuh yang lebih kuat dari musuh Rasulullah di Bukit Uhud-- terlalu sering melenakan kita, membutakan pandangan kita pada ayat-ayat-Nya yang nyata.
Ketika kita merasa besar, maka semua yang di depan kita menjadi bernilai kecil. Lantas berlanjutlah perasaan kita terhadap yang kecil itu cenderung meremehkan dan mengecilkan. Perasaan takabur itulah yang telah membutakan para reformis penentang Jalut dari melihat tanda ‘pengangkatan Thalut’ oleh Allah. Maka, betapa ruginya. Terlewat mereka mengenali Thalut, terpisah juga mereka dari barisan yang dijanjikan Allah kemenangan.
Aduhai, Thalut... janganlah kiranya engkau terhalang dari pandangan mataku yang tak kunjung selamat dari rasa takabur.
0 Tanggapan untuk "Merindukan Datangnya Thalut"
Post a Comment