Kemana Memburu Bahagia?
Monday, February 21, 2011
Tambahkan komentar
Suatu ketika Imam Hasan Al Bashri ditanya seorang pemuda, “Kenapa orang yang gemar melakukan tahajud wajahnya enak dipandang?”
Ia mengatakan, “Bagaimana tidak, mereka telah berkhalwat dengan Yang Maha Pengasih kemudian Allah Yang Maha Pengasih itu pasti memberikan cahaya-Nya kepada orang itu…”
Dzikir dan semua amal shalih memang erat kaitannya dengan ketenangan bathin. Dan ketenangan bathin itu erat hubungannya dengan kebahagiaan hidup. Lihatlah betapa ketenangan yang dirasakan Abu Bakar bin Ayash, salah seorang tokoh di zaman Tabi’in. Menjelang kematiannya, ia berkata pada anaknya, “Apakah engkau mengira Allah akan menyia-nyiakan ayahmu yang selama empat puluh tahun sudah mengkhatamkan al Qur`an hampir setiap beberapa malam?”
Sementara, Adam bin Iyas, tokoh Tabi’in yang lain ketika akan meninggal mengatakan, “Dengan cintaku pada-Mu. Engkau pasti menemaniku saat ketakutan. Laa ilaaha illa Llah….” Kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Begitulah. Ketenangan hati telah mereka miliki. Dan itulah tanda kehidupan mereka bahagia. Kebahagiaan hidup selamanya tak pernah dapat diperoleh di luar diri, melalui materi, melalui jabatan, melalu pekerjaan, melalui harta, melalui apapun. Karena obsesi hidup apapun tak pernah memberikan kepuasan jiwa.
Keinginan jiwa, selalu bertambah setiap kali dipenuhi. Itu Aksioma hidup. Apalagi, semua tahu bila perjalanan hidup selalu dipenuhi dengan ragam masalah dan problematika yang banyak tidak sejalan dengan keinginan. Lalu di mana kebahagiaan?
Kebahagiaan dan kesenangan melalui keduniaan adalah mustahil. Kebahagiaan hidup hanya akan bisa diraih oleh orang-orang yang hatinya tentram. Dan ketentraman hati itu erat hubunganya dengan kuat tidaknya hati seseorang dengan Yang Maha Kuasa. Ketentraman itu akan datang dengan kedekatan pada amal amal ukhrawi yang mendekatkan orang pada Allah SWT. Sejauh mana kedekatan seseorang pada Allah SWT, sejauh itu pula kebahagiaan yang akan ia peroleh. Buktikan sendiri!!
Ia mengatakan, “Bagaimana tidak, mereka telah berkhalwat dengan Yang Maha Pengasih kemudian Allah Yang Maha Pengasih itu pasti memberikan cahaya-Nya kepada orang itu…”
Dzikir dan semua amal shalih memang erat kaitannya dengan ketenangan bathin. Dan ketenangan bathin itu erat hubungannya dengan kebahagiaan hidup. Lihatlah betapa ketenangan yang dirasakan Abu Bakar bin Ayash, salah seorang tokoh di zaman Tabi’in. Menjelang kematiannya, ia berkata pada anaknya, “Apakah engkau mengira Allah akan menyia-nyiakan ayahmu yang selama empat puluh tahun sudah mengkhatamkan al Qur`an hampir setiap beberapa malam?”
Sementara, Adam bin Iyas, tokoh Tabi’in yang lain ketika akan meninggal mengatakan, “Dengan cintaku pada-Mu. Engkau pasti menemaniku saat ketakutan. Laa ilaaha illa Llah….” Kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Begitulah. Ketenangan hati telah mereka miliki. Dan itulah tanda kehidupan mereka bahagia. Kebahagiaan hidup selamanya tak pernah dapat diperoleh di luar diri, melalui materi, melalui jabatan, melalu pekerjaan, melalui harta, melalui apapun. Karena obsesi hidup apapun tak pernah memberikan kepuasan jiwa.
Keinginan jiwa, selalu bertambah setiap kali dipenuhi. Itu Aksioma hidup. Apalagi, semua tahu bila perjalanan hidup selalu dipenuhi dengan ragam masalah dan problematika yang banyak tidak sejalan dengan keinginan. Lalu di mana kebahagiaan?
Kebahagiaan dan kesenangan melalui keduniaan adalah mustahil. Kebahagiaan hidup hanya akan bisa diraih oleh orang-orang yang hatinya tentram. Dan ketentraman hati itu erat hubunganya dengan kuat tidaknya hati seseorang dengan Yang Maha Kuasa. Ketentraman itu akan datang dengan kedekatan pada amal amal ukhrawi yang mendekatkan orang pada Allah SWT. Sejauh mana kedekatan seseorang pada Allah SWT, sejauh itu pula kebahagiaan yang akan ia peroleh. Buktikan sendiri!!
0 Tanggapan untuk "Kemana Memburu Bahagia?"
Post a Comment