Sabar dalam Beribadah dan Musibah, Mana yang Lebih Berat?
Saturday, July 15, 2017
Tambahkan komentar
Biasanya kita dinasihati untuk sabar menghadapi musibah. Seberat-beratnya sabar dalam musibah, jauh lebih berat lagi untuk sabar dalam beribadah. Salah satu godaan terbesar seorang salik yang tengah berjalan menuju ilahi adalah dia hendak cepat-cepat sampai padahal masih banyak stasiun yang harus disinggahi dan dijalani.
Ketika Tuhan menceritakan di dalam Al-Qur'an bagaimana semesta diciptakan dalam enam masa (fi sittati ayyam), sejatinya Tuhan tengah mengajari manusia bahwa semuanya itu berproses dan membutuhkan waktu.
Tuhan bukan tidak sanggup menciptakan alam semesta dalam sekedip kun fayakun-Nya, tapi kalau Tuhan yang Maha Kuasa saja menciptakan semesta ini setahap demi setahap, lalu siapa kita yang hendak mengubah semesta dalam diri kita ini hanya sekejap saja?
Pernah dikisahkan dalam sebuah riwayat bagaimana ada tiga sahabat yang bernafsu dalam beribadah. Larangan menahan nafsu itu bukan hanya berkenaan dengan duniawi semata, tapi juga urusan ukhrawi. Sahabat pertama berikrar tidak mau menikah. Sahabat kedua bertekad mau puasa setiap hari. Sahabat ketiga mau terjaga dan shalat malam terus menerus.
Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada mereka: "Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah! Namun selain berpuasa aku juga berbuka (tidak berpuasa), selain shalat aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku," (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi tengah mengajarkan kepada sahabat beliau (radhiyallah 'anhum) untuk bersabar dalam beribadah, tidak bernafsu saat beribadah dan menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat. Inilah keindahan Islam.
Orang yang bernafsu dalam beribadah melebihi kapasitas sebagai manusia biasa justru akan semakin jauh dari perjalanan menujuNya. Ibadah itu sejatinya membesarkan Allah bukan membesarkan ego dan nafsu kita termasuk saat tengah menjalankan perintahNya.
Jangan sampai seolah kita tengah membesarkanNya padahal nafsu kita lah yang tengah kita kobarkan. Jangan sampai kita seolah berjalan menujuNya, padahal kita hanya berputar-putar di ego diri kita saja.
Antara takbir di awal shalat dan ucapan salam di akhir shalat, ada nafsu kita kah di sana? Antara fajar subuh memulai puasa dan terbenamnya matahari saat berbuka, ada diri kita kah di sana?
Antara memulai mencari nafkah sehingga terkumpul nishab setahun membayar zakat, ada kepentingan diri kita kah di sana? Antara ucapan Labbaik Allahumma Labbaik hingga wukuf di arafah sata berhaji, masihkah kita rasakan ada ego kita di sana?
Mereka yang sabar dalam beribadah akan bersedia melepaskan dirinya dan sepenuhnya tunduk pada keinginan Sang Penguasa Alam. Semua berada dalam takaran sesuai stasiun yang tengah kita lewati. Mereka yang telah dicelup oleh Allah dalam samuderaNya (QS 2:138) nafsu dirinya akan tenggelam. Yang muncul ke permukaan hanya qalbun salim. Di sanalah Dia bertahta.
Orang yang berusaha sabar menghadapi musibah adalah orang yang sadar bahwa tanpa pertolonganNya kita tidak bisa menghadapi berbagai problematika kehidupan kita. Namun orang yang sabar saat menyembahNya adalah orang yang sadar bahwa Allah tidak bisa didekati dengan keinginan dan kemampuan diri melainkan sesuai dengan tahapan proses yang telah ditentukanNya untuk masing-masing dari kita.
0 Tanggapan untuk "Sabar dalam Beribadah dan Musibah, Mana yang Lebih Berat?"
Post a Comment