Anak-Anak Sahabatku - Cuma Berbagi

Anak-Anak Sahabatku

Namanya Azmi, rambutnya keriting ikal dengan kulitnya yang hitam, menurutku sangat pas dengan bentuk dan raut wajahnya. Bocah usia 6 tahun ini, saya kenal 8 tahun lalu di Kyoto saat ia bersama adik dan ibunya datang ke Kyoto untuk menemani ayahnya yang sedang studi S3 di Kyoto University. Ia sekeluarga berasal dari Aceh.

Pertama berkenalan dengannya, bocah kecil ini ternyata sangat tegas dan percaya diri. Lucu sekali ketika aku harus kikuk menghadapi perkenalan dengannya. Bayangkan, aku seorang gadis usia 20-an harus kikuk menghadapi si abang (begitu dia kerap memanggil dirinya) yang tanpa canggung, terlalu mengakrabkan diri denganku. Mungkin aku agak kikuk karena tidak tahu bagaimana berinteraksi dengan seorang bocah. Anaknya terbuka, inisiatif dan frontal, itu gambaran awalku. Azmi kerap bangga bercerita kegiatan dia waktu di Indonesia semasa kelas 1 SD di Aceh. Karena harus ke Jepang menemani sang ayah, terpaksa Azmi meninggalkan teman-teman dan gurunya.

Aku tidak terlalu ingat tepatnya dimana kota dia berasal, yang pasti sejak kepindahan Azmi ke Kyoto, dia kerap menghubungi sang ibu guru di Aceh Utara melalui surat. Sejak pertama melihatnya, terlihat jelas karakter "Aceh", dan aku tidak bermaksud rasis dengan kalimat ini. Azmi tegas dan di usianya yang muda, dia sudah bisa membaca Al Qur'an dengan baik berkat bimbingan sang ibu. Dia sudah sering khatam Al Quran dan seringkali dia ikut diajak sang ayah mengikuti kajian pengajian keluarga muslim indonesia di Kyoto. Sesekali Azmi mengoreksi dan membetulkan bacaan seorang bapak yang salah. Dan diikuti dengan suara "sstttt abang..!" dari sang ibu yang duduk di belakang, karena takut sang bapak tersinggung dikoreksi oleh anak kecil. Aku kerap kali tersenyum melihat pemandangan ini.

Dia tahu jati diri sebagai seorang muslim bahkan ketika dia harus masuk sekolah bercampurbaur dengan teman-teman baru Jepangnya, dia masih tetap eksis menunjukkan jati diri seorang muslim yang baik. Anak-anak Jepang memiliki kecenderungan yang besar untuk berkelompok dan keseragaman, sehingga bila ada seorang anggota baru yang masuk dan tampak sangat berbeda, muncul jiwa penolakan berupa penghinaan, ejekan ataupun perlakukan yang tidak pada tempatnya. Ini juga terjadi di sekolah baru Azmi.

"Kuroooi daaa!! (kamu hitam!!)" sebuah ejekan yang kerap diterima Azmi. Azmi bisa menangkisnya bahwa dia bangga dengan hitamnya, toh manusia tidak dinilai dari hitam atau kuning kulitnya, karena di mata pencipta adalah sama yang terpenting adalah imannya. Yang lucu Azmi merasa hitam menunjukkan kegagahannya sebagai seorang laki-laki. Pernah dia bercerita kepadaku, -aku kerap main kerumahnya untuk berjumpa dengan sang ibu dan rumah kami bertetanga dekat-, bahwa ia pernah memukul teman baru Jepangnya yang kurang ajar karena berani memegang kepalanya. Sejak itu teman-teman Jepangnya, tidak ada yang berani menganggunya.

"Baka da naaa (dasar orang orang bodoh)" itu ungkapan yang digunakan Azmi bila dia bercerita tentang teman-teman Jepangnya yang tidak mengenal pencipta, tidak sholat tetapi lebih percaya dan berdoa di kuil-kuil kepada dewa dewa mereka atau lebih percaya pada Santa.

Azmi sang jawara. Itulah Azmi, yang dengan lantangnya membaca iqomat sebelum sholat dimulai. Dengan gagahnya dia akan berdiri di samping belakang sang ayah, sedang aku dan ibunya berdiri di barisan belakang menjadi makmum. Selesai sholat ia akan mencium tangan ayah ibunya termasuk tanganku, kemudian mengaji Al Aquran. Selepasnya terkadang ia mengajakku belajar, bertanding menulis hapalan Kanjinya. Lucu melihat ia terkadang jengkel bila aku menuliskan Kanji baru yang ia tidak tahu. Wajar saja aku mahasiswa di universitas lebih unggul di bandingkan anak sekolah dasar itu, tetapi sepertinya hal ini membuat ia sangat jengkel.

Setahun kemudian Azmi dan ibunya pulang ke Aceh dan sejak itu aku tidak pernah tahu kabarnya. 8 tahun yang lalu, tentunya dia sekarang sudah besar dan lebih gagah berani. Interaksi dengan keluarganya lah yang mendorongku untuk menikah, aku ingin punya keluarga, punya jundi-jundi yang gagah berani, percaya diri dan bangga akan eksistensi sebagai seorang muslim/muslimah.

***

Alhamdulillah setelah menikah, aku masih tinggal di Kyoto dan aku berkesempatan berkenalan lagi dengan seorang bocah laki-laki seusia Azmi. Namanya Ilham dia berasal dari Bandung. Anak ini pun hitam dan tidak terlihat kesundaannya dari tampang luarnya. He he aku tidak bermaksud menilai sepihak dan mungkin karena asumsiku tentang orang sunda sudah terbentuk sejak aku mengenal suamiku, bahwa orang sunda cenderung berkulit kuning langsat dan lebih lembut.

Kembali ke cerita Ilham, dia pun harus masuk ke sekolah barunya di Jepang. Berbeda dengan Azmi yang tegas dan gagah. Ilham lebih cenderung mengalah dan lembut. Mungkin ini juga diturunkan oleh kedua orang tuanya. Ayahnya seorang lulusan S1 IPB, lulusan S2 dari Jerman dan S3 dari Jepang tetapi memiliki sifat rendah hati, qonaah dan sangat low profile. Saat bertemu dengan sang ayah, penampilan luarnya benar benar tampak seperti orang desa dan orang tidak akan menyangka bahwa beliau adalah seorang dosen IPB lulusan Jerman dan Jepang. Demikian juga sang istri, dengan penampilan yang sederhana dan tutur kata seadanya, mereka membuatku menjadi dekat dan ingin lebih mengenal keluarga itu. Sekalipun aku tinggal berjauhan, aku dan suamiku kerap menyempatkan waktu singgah bersilahturahmi ke rumahnya. Dan di sela-sela praktikumku di lab dekat rumah mereka, aku kerap singgah ke sana.

Rumah mereka benar-benar membuatku betah. Kesederhanaan dan kebersahajaan. Aku pun kerap berbincang dengan Ilham bertanya tentang teman barunya, tentang sekolahnya dan hal hal yang dia alami. Setelah dipancing dan ditanya barulah keluar serentetan cerita dari mulut kecilnya. Dan dia cepat akrab denganku.

Ilham ternyata juga di "ijime" (dijadikan bulan-bulanan) oleh teman temannya. Tetapi dia lebih memilih untuk tidak meladeni dan mendiamkan. Ketika dia diejek dengan "kamu hitam!" dan lainnya, dia tetap diam dan menerima. Perlakuan buruk seperti memegang-megang kepala, atau lebih buruk dari itu. Ilham membiarkan dan menghindari sebisa mungkin. Dia merasa meladeni teman-temannya yang tidak tahu, tidaklah ada gunanya. Sesekali dia memberitahu teman-temannya tetapi lebih banyak dia berdiam diri. Biarkanlah waktu yang menyelesaikan. Sikap mengalah yang saat itu, Ilham pilih. Berbeda dengan Azmi yang melawan dengan frontal, Ilham lebih memilih membiarkan, karena ia merasa tidak ada gunanya melawan dan ia sendiri tidak menyukai kekerasan.

Ejekan-ejekan dan perlakuan lain bisa ia diamkan, dan ia sepertinya berbahagia dengan diamnya. Aku tidak tahu apa yang ada di benaknya, karena kediamannya dan ceritanya terkesan tanpa keluhan. Ketika ia bercerita kepadaku, aku seakan ingin membelanya dan menyarankan untuk melawan. Tetapi orang tuanya lebih menyarankan untuk membiarkan toh mereka akan berhenti dengan sendiri bila merasa hal itu sia-sia dan sangat mendorong Ilham untuk bersabar menghadapi semua ini. Toh masalah ini tidak berpengaruh dalam hidup Ilham karena dia cukup tegar dengan menganggap hal ini bukan suatu masalah besar.

Kemenangan dalam diam bukanlah hal yang mustahil dan itu didapat oleh Ilham. Selang beberapa minggu ia menceritakan bagaimana teman-temannya ternyata mulai bosan mengganggunya dan lebih menikmati berinteraksi dengannya, bermain dengannya dan ia mulai diterima masuk ke dalam komunitas mereka dan ia mulai banyak teman-teman yang mulai sering berkunjung ke rumahnya. Teman-teman Jepang Ilham mulai mencoba memahami perbedaan dan mencoba mencari jawaban dari Ilham.

Buah dari kesabaran Ilham. Kesabarannya yang sangat tidak aku pahami saat itu, kesabaran yang sangat sulit dimiliki oleh seorang anak, bukan karena dia tidak bisa melawan, tetapi karena ia sendiri merasa kekerasan bukanlah penyelesaian utama.

Sebelum aku sempat pulang ke tanah air meninggalkan Kyoto, ternyata kali ini aku ditinggalkan lagi oleh teman-temanku yang terlebih dahulu pulang, termasuk Ilham dan ayah ibunya. Begitu banyak kenangan dan pelajaran serta hikmah yang kurasakan dalam interaksi dengan anak-anak sahabatku. Azmi yang gagah berani dan tegas dan Ilham yang lembut dan sabar dalam diamnya, dua sosok pribadi yang sangat kontras.

Sampai saat ini, Allah masih memberikanku kesempatan untuk berinteraksi dengan sekian banyak anak-anak, masih kujumpai berbagai karakter anak-anak yang menjadi sumber inspirasi dan belajarku.

Semoga kalian tumbuh dan menjadi besar menjadi penegak dien ini.

0 Tanggapan untuk "Anak-Anak Sahabatku"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel