Perenungan - Cuma Berbagi

Perenungan

Perenungan. Kata yang mudah diucapkan namun susah dimaknai. Suara Pak Ismail masih mengiang ditelingaku, padahal sudah tiga tahun lewat aku mengikuti training ini.

Siapa anda? aku gelagapan saat ditanya seperti itu, semua mata memandang ke aku. Spontan kujawab,"Saya manusia, abdi sang Khalik". Pak Is, begitu beliau disapa, melangkah kearahku. "Apakah benar anda manusia? Apakah benar anda berpikir, bertindak dan berlaku sebagai manusia? Apa anda memang menempatkan diri sebagai abdi Sang Khalik?". Rentetan pertanyaan mengalir dari mulut beliau.

Saat itu, aku benci....benci banget ikut pelatihan ini. Aku benci sama beliau. Semua yang ikut sudah tua, jauh di atas aku. Apalagi, baru duduk sudah disuguhi pertanyaan yang bikin puyeng. Sungguh hari yang ngeselin.

***

Hari kedua, duduk ditempat yang sama. Pak Is membagikan kertas putih dan meminta kami menggambarkan wajah kami disana. Just peace a cake. Saatnya memperlihatkan keahlian menggambar.

Gambar itu, yang dipuji disana-sini, ditempelin dan diberi nomor didepan meja masing-masing. Waaahhh...gile. Ternyata aku itu emang penuh potensi, keren gitu hasilnya. Hi...hi...yang laen ...ancur.

Pak Is menghentikan kesenanganku. Beliau membagikan lembaran-lembaran soal dan kertas jawaban. Ah....paling cuma test psikologi. Gampang ini.

Hari kedua, aku lewati dengan sedikit perasaan senang, udah bisa unjuk gigi sih.

***

Hari ketiga, keempat dan kelima, dilalui dengan permainan, diskusi, debat dan segala macam yang menarik. Eh, ternyata asyik juga ya .

***

Hari keenam. Pak Is berdiri di depan dengan dua orang asistennya. Kertas-kertas dibagikan, hasil-hasil dievaluasi.

Bantahan bermunculan, penolakan disana-sini. Toh, ini hanya selembar kertas, tidak bisa dijadikan bukti otentik. Masa aku, tidak kenal diriku, masa perlu orang lain untuk mengenalkan aku,......non sense. Boong semua, apaan ini.

Pulang kerumah, dengan setumpuk kertas dan pr membuat surat. Kupandangi lekat kertas-kertas bertinta merah dan biru, dengan grafik serta kurva yang melintas saling memotong. Apaan sih ini, ......kayanya perlu dibaca ini penjelasannya.

Sombong, overconfidence, nggak punya target, pengambil resiko, dsbnya. Masa sih, aku seperti itu? gila aja. Mataku tidak bisa terpejam mengingat kertas-kertas itu. Kenapa aku sombong? padahal aku kan dikenal supel, banyak teman, pergaulan luas? Over confidence? kok bisa ya.......

Segala macam pertanyaan dan jawaban bersiliweran dibenakku. Tak terasa, subuh menjelang, teng.....aku tersentak. Satu malam aku terjaga memikirkan hasil kemaren.

***

Pak Is masuk ke kelas dengan senyum khasnya. Dan begitu beliau mengucapkan salam, semua berebutan mengajukan pertanyaan. Dan semua pertanyaan sama, apakah benar saya ini seperti ini?

Pak Is tersenyum, dan dengan bijaknya berkata,"Ada satu hal yang bersemayam didalam hati manusia, ego pribadi. Perasaan itu melahirkan kesombongan, yang menutupi hati sehingga hati tidak lagi bisa melihat, hati tidak lagi bisa memberikan penilaiannya, hati cendrung disekap oleh kesombongan. Lalu, si ego meneriakkan pernyataan ini saya, dan otak berpikir, saya tahu dan kenal siapa saya. Itulah rentetannya."

Beliau terdiam, lalu bertanya,"Sekarang, siapa dari hadirin sekalian yang tidak menolak penilaian tersebut?". Beliau memutar pandangannya kesekeliling, tak satupun yang menunjukkan tangan.

"Itulah manusia, terlalu cepat menilai, terlalu cepat memvonis, sebelum mengerti dan paham duduk persoalannya. Kembali si-ego bertindak, kembali si-ego menutupi hati dan pikiran".

"Sekarang, coba hadirin sekalian beri waktu setengah jam saja, duduk, relaks dan mulai berpikir apa benar ini saya? lihat hasil saudara, renungi hasil itu. Memang itu hanya selembar kertas, tapi itu adalah gambaran sepintas tentang anda sekalian".

Hari keenam pun berakhir.

Malam semakin larut. Aku duduk dalam perenunganku. Aku tidak tahu lagi berapa banyak perenungan yang sudah aku lakukan. Ya, inilah aku, insan yang sombong dan buta hati. Memang benar, Allah saja menyatakan bahwa manusia itu sombong dan tinggi hati.

Teringat kembali, saat aku mebacakan surat untuk saudara kembarku, diriku sendiri, rentetan perjalan hidup, yang penuh suka dan duka, yang jarang aku syukuri. Alunan lagu Ebiet G. Ade masing terngiang dikepalaku....

Perjalanan ini...
Terasa sangat menyedihkan ....
Tubuhku terguncang.
Dihempas batu jalanan.
Hati tergetar menatap.
kering rerumputan.
Perjalanan ini pun.
Seperti jadi saksi.
Gembala kecil.
Menangis sedih.

0 Tanggapan untuk "Perenungan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel