Sekilas Tentang Jama’ah Dzikir
Saturday, December 4, 2010
Tambahkan komentar
Sebenarnya secara umum, berzikir itu diperintahkan sebagai bagian dari ritual ibadah. Termasuk membaca beberapa ayat dan surat Al-Quran, mengucapkan lafaz LAILAHA ILLALLAH, berisitghfar dan seterusnya. Semua itu memang punya landasan syar`i. Pada posisi ini, kedua belah pihak masih bersepakat atas adanya perintah untuk zikir.
Namun yang sering menjadi permasalahan adalah formatnya. Dimana sebagian ulama mengatakan bahwa semua itu semestinya dilakukan oleh sendiri-sendiri dan terpisah, bukan dengan cara berkumpul secara rutin dengan mengkhususkan waktu dan tempat tertentu, agar tidak membentuk sebuah pola ritual tersendiri. Sebab bila sampai menjadi semacam pola ritual tersendiri yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, pola ibadah seperti ini berpeluang untuk menjadi sebuah pengada-adaan alias bid'ah.
Demikian juga yang dikritik adalah susunan atau urutan teks lafaz-lafaz yang dibaca. Dimana menurut mereka, susunan itu tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga tidak boleh dijadikan pegangan terus menerus agar tidak dianggap sebagai sebuah bentuk ibadah tersendiri. Kira-kira itulah inti dari keberatan sebagian ulama atas bentuk majelis zikir seperti ini.
Namun keberatan ini dijawab oleh sebagian yang lainnya yang menetapkan bahwa berkumpulnya sejumlah orang pada waktu tertentu untuk membaca lafaz zikir tertentu adalah boleh-boleh saja. Meski Rasulullah SAW tidak pernah mengatur secara teknisnya, namun bukan berarti hal seperti lantas menjadi terlarang. Sebab ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang majelis zikir atau zikir berjamaah. Sehingga berkumpulnya orang-orang khusus untuk berzikir kepada Allah SWT punya landasan syariah yang jelas dengan berdasarkan hadits shahih. Salah satunya adalah hadits riwayat imam Muslim berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah suatu kaum duduk untuk berzikir kepada Allah SWT di dalam majelis itu kecuali malaikat akan menaunginya dan mencurahkan mereka dengan rahmah dan Allah akan menyebutkan mereka kepada siapa yang disisi-Nya". (HR. Muslim).
Secara zahir, hadits ini menyebutkan tentang sebuah kaum yang berkumpul untuk berzikir. Jadi tidak harus dilakukan sendiri-sendiri. Demikian juga makna hadits ini menyebutkan zikir, yang maknanya adalah melafazkan zikir dengan lisan. Jadi orang-orang sengaja datang berkumpul bersama dan melafazkan zikir dengan lisan mereka.
Oleh mereka yang menolak tentang zikir berjamaah, lafaz zikir dalam hadits ini seringkali ditafsirkan sebagai "majelis ilmu". Namun penafsiran ini jauh dari lafaz aslinya, meskipun majelis ilmu secara umum termasuk zikir juga.
Namun Ash-Shan`ani penulis kitab Bulughul Maram menyebutkan pada bab terakhir dari kitabnya itu bahwa zikir dalam hadits ini adalah bertasbih atau membaca lafaz SUBHANALLAH, bertahmid atau membaca lafaz ALHAMDULILLAH dan membaca ayat-ayat Al-Quran serta lafaz-lafaz lainnya yang sejenis. Beliau tidak mengatakan bahwa zikir disini adalah majelis ilmu atau semacam penyamapaian muhadharah / materi, melainkan sebuah majelis tempat orang-orang berkumpul untuk berzikir dengan lisannya.
Mereka yang tidak mendukung zikir bersama ini lantas tidak membenarkan bila lafaz zikir itu diucapkan secara koor, serempak atau bersamaan. Kalau pun ada riwayat tentang majelis zikir, namun mereka ingin agar masing-masing saja melafazkannya, tidak dikomandoi oleh seorang pimpinan majelis zikir. Jadi berkumpul boleh, tapi berzikirnya masing-masing tanpa komando.
Mereka yang mendukung lantas mempertanyakan dalil keharusan zikir sendiri-sendiri padahal sudah berkumpul bersama. Dan begitulah, kalau mau terus diikuti maka perbedaan pandangan itu pun tidak pernah selesai. Yang satu tetap ingin mempertahankan pendapatnya dan lain pun tidak menyerah begitu saja. Inilah yang disebut khilaf. Dimana masing-masing punya dalil yang cukup kuat dijadikan pijakan. Dan tidak ada dalil sharih dan qath`i yang bisa menyelesaikan perbedaan paham seperti ini.
Maka dalam kasus seperti ini, kita menghormati ijtihad masing-masing sebagai sebuah upaya serius untuk mendapatkan hukum yang benar atas dalil-dalil yang tersedia. Bukan dengan saling menjelekkan atau saling menuding dengan tuduhan-tuduhan yang kurang baik. Sebab berbeda pandangan adalah bagian utuh dari seni ilmu fiqih. Fiqh tanpa perbedaan pendapat akan kehilangan jati dirinya. Dan tidak perlu khawatir dengan perdedaan pendapat seperti ini, karena yang diperdebatkan hanyalah masalah furu`/cabang. Sama sekali tidak terkait dengan masalah aqidah seseorang.
Wallahu a'lam.
Namun yang sering menjadi permasalahan adalah formatnya. Dimana sebagian ulama mengatakan bahwa semua itu semestinya dilakukan oleh sendiri-sendiri dan terpisah, bukan dengan cara berkumpul secara rutin dengan mengkhususkan waktu dan tempat tertentu, agar tidak membentuk sebuah pola ritual tersendiri. Sebab bila sampai menjadi semacam pola ritual tersendiri yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, pola ibadah seperti ini berpeluang untuk menjadi sebuah pengada-adaan alias bid'ah.
Demikian juga yang dikritik adalah susunan atau urutan teks lafaz-lafaz yang dibaca. Dimana menurut mereka, susunan itu tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga tidak boleh dijadikan pegangan terus menerus agar tidak dianggap sebagai sebuah bentuk ibadah tersendiri. Kira-kira itulah inti dari keberatan sebagian ulama atas bentuk majelis zikir seperti ini.
Namun keberatan ini dijawab oleh sebagian yang lainnya yang menetapkan bahwa berkumpulnya sejumlah orang pada waktu tertentu untuk membaca lafaz zikir tertentu adalah boleh-boleh saja. Meski Rasulullah SAW tidak pernah mengatur secara teknisnya, namun bukan berarti hal seperti lantas menjadi terlarang. Sebab ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang majelis zikir atau zikir berjamaah. Sehingga berkumpulnya orang-orang khusus untuk berzikir kepada Allah SWT punya landasan syariah yang jelas dengan berdasarkan hadits shahih. Salah satunya adalah hadits riwayat imam Muslim berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah suatu kaum duduk untuk berzikir kepada Allah SWT di dalam majelis itu kecuali malaikat akan menaunginya dan mencurahkan mereka dengan rahmah dan Allah akan menyebutkan mereka kepada siapa yang disisi-Nya". (HR. Muslim).
Secara zahir, hadits ini menyebutkan tentang sebuah kaum yang berkumpul untuk berzikir. Jadi tidak harus dilakukan sendiri-sendiri. Demikian juga makna hadits ini menyebutkan zikir, yang maknanya adalah melafazkan zikir dengan lisan. Jadi orang-orang sengaja datang berkumpul bersama dan melafazkan zikir dengan lisan mereka.
Oleh mereka yang menolak tentang zikir berjamaah, lafaz zikir dalam hadits ini seringkali ditafsirkan sebagai "majelis ilmu". Namun penafsiran ini jauh dari lafaz aslinya, meskipun majelis ilmu secara umum termasuk zikir juga.
Namun Ash-Shan`ani penulis kitab Bulughul Maram menyebutkan pada bab terakhir dari kitabnya itu bahwa zikir dalam hadits ini adalah bertasbih atau membaca lafaz SUBHANALLAH, bertahmid atau membaca lafaz ALHAMDULILLAH dan membaca ayat-ayat Al-Quran serta lafaz-lafaz lainnya yang sejenis. Beliau tidak mengatakan bahwa zikir disini adalah majelis ilmu atau semacam penyamapaian muhadharah / materi, melainkan sebuah majelis tempat orang-orang berkumpul untuk berzikir dengan lisannya.
Mereka yang tidak mendukung zikir bersama ini lantas tidak membenarkan bila lafaz zikir itu diucapkan secara koor, serempak atau bersamaan. Kalau pun ada riwayat tentang majelis zikir, namun mereka ingin agar masing-masing saja melafazkannya, tidak dikomandoi oleh seorang pimpinan majelis zikir. Jadi berkumpul boleh, tapi berzikirnya masing-masing tanpa komando.
Mereka yang mendukung lantas mempertanyakan dalil keharusan zikir sendiri-sendiri padahal sudah berkumpul bersama. Dan begitulah, kalau mau terus diikuti maka perbedaan pandangan itu pun tidak pernah selesai. Yang satu tetap ingin mempertahankan pendapatnya dan lain pun tidak menyerah begitu saja. Inilah yang disebut khilaf. Dimana masing-masing punya dalil yang cukup kuat dijadikan pijakan. Dan tidak ada dalil sharih dan qath`i yang bisa menyelesaikan perbedaan paham seperti ini.
Maka dalam kasus seperti ini, kita menghormati ijtihad masing-masing sebagai sebuah upaya serius untuk mendapatkan hukum yang benar atas dalil-dalil yang tersedia. Bukan dengan saling menjelekkan atau saling menuding dengan tuduhan-tuduhan yang kurang baik. Sebab berbeda pandangan adalah bagian utuh dari seni ilmu fiqih. Fiqh tanpa perbedaan pendapat akan kehilangan jati dirinya. Dan tidak perlu khawatir dengan perdedaan pendapat seperti ini, karena yang diperdebatkan hanyalah masalah furu`/cabang. Sama sekali tidak terkait dengan masalah aqidah seseorang.
Wallahu a'lam.
0 Tanggapan untuk "Sekilas Tentang Jama’ah Dzikir"
Post a Comment