Menabur Serbuk Panasea Hati
Monday, May 2, 2011
Tambahkan komentar
“Mampir Tris!” sapaku kepada seorang laki-laki pengojek di pinggir jalan yang sedang menanti pelanggannya itu. Sutrisno nama lengkapnya, biasa magang di salah satu pos ojek jalan di desa kami. Sepanjang jalan tersebut ada tiga pos ojek yang jumlah anggotanya sekarang tidak kurang dari 200 orang. “Yaaa……” jawab Sutris setengah berteriak mengikuti arah sepeda motor saya yang melaju di depannya pagi itu selepas Sholat Fajar.
Hampir setiap pagi hari, Sutris selalu ada disana bersamaan dengan beberapa pengojek lain yang setia menanti pelanggan mereka, utamanya ibu-ibu yang akan ‘kulak’an’ orang Jawa mengistilahkan. Sutris melakukan kegiatan rutin sebagai tukang ojek ini sudah tidak kurang dari 10 tahun terakhir ini.
Bapak dua orang anak laki-laki ini teman sekelas di SD dulu. Kami bertetangga. Rumah kami hanya berjarak sekitar 50 meter. Bedanya, rumah orangtua Sutris terletak diujung jalan, di pinggir sawah dan pekarangan. Kala Maghrib tiba, saya yang waktu itu masih berusia sekitar 8 tahun, takut untuk pergi ke rumahnya sendirian, karena tidak ada listrik. Keluarga kami tergolong tidak punya, tapi orangtua Sutris lebih tidak mampu lagi. Rumahnya terbuat dari gedek berukuran sekitar 35 meter. Tidak ada perabotan rumah, kecuali amben bambu dan meja panjang yang ada di ruang tamu. Berlantai tanah dan beratap genteng tanpa langit-langit. Bocor? Tidak perlu dipertanyakan!
Sutris adalah anak ketiga dari 5 bersaudara, 4 laki-laki, seorang perempuan. Kami tidak terlalu dekat sebagai teman, namun saya tahu Sutris anak pintar sewaktu di SD. Dia hampir selalu menduduki rangking satu di setiap kelas. Sekolah lanjutan pertamanya ditempuh di sebuah sekolah Islam adalah hal lain yang membuat jarak kami menjadi semakin renggang. Sesudah itu saya tidak lagi mendengar prestasi belajarnya lagi karena sekolah dan kelompok belajar kami yang berbeda.
“Lulus SMA saya sempat berkeliling mencari kerja di Sumatera dan Kalimantan. Saya tidak melihat pekerjaan disana terlalu menjanjikan masa depan, hingga saya harus balik ke kampung!” jelasnya suatu hari ketika dia berkunjung ke rumahku. Sejak saya di perantauan, kami jarang sekali ketemu, setidaknya hanya setahun sekali. Kesempatan langka inilah yang kami gunakan untuk sharing. “Hampir setahun setelah pulang dari Kalimantan saya juga tidak menemukan pekerjaan. Akhirnya saya penuhi panggilan kerja sebagai waiter di sebuah bar di Surabaya”.
“ Bar?” kataku agak terkejut! Dunia bar yang saya tahu dari ceritera dan film-film tidak ubahnya dengan dansa, minuman keras, perjudian dan pebuatan non sosial lainnya. Singkatnya, saya tidak habis berpikir bagaimana orang seperti Sutris harus mencari penghasilan di dunia tersebut. “Saya bekerja rata-rata di malam hari. Siang hari tidur, dan malamnya melayani tamu-tamu disana”. Hal itu berlangsung selama 7 tahun. “Lama juga Tris”. Kataku. “Ya…..tapi kemudian saya diberhentikan karena perusahaan bangkrut!” “Alhamdulillah..!” Desahku tak terdengar olehnya. Sutris mengaku secara finansial kondisi keluarganya cukup tertopang dengan kerjanya di bar. Selain gaji, dia setiap hari dapat juga tips dan uang service lainnya. Tapi dari mana sumbernya? Subhanallah! Sutris ternyata sudah menyadari akan semua ini. Selama tujuh tahun, hidupnya dipenuhi dengan kegelisahan karena pertentangan batin. Dia dihadapkan antara kenyataan sulitnya hidup dengan aturan-aturan yang seharusnya dia penuhi dalam menjalankan dan larangan yang ada pada ajaran Islam. Di rumah, dia laksanakan sholat lima waktu, namun di dalam kerjaan dia serve tamunya dengan minuman keras, padahal hal ini dilarang oleh agama. Sutris mengetahui pula bahwa orang-orang yang terlibat dosa dalam persoalan minuman keras ini antara lain: yang menjual, yang membeli, ataupun yang menyajikan. Semuanya yang terlibat dalam transaksi serta peredarannya berstatus sama: berdosa!
Tujuh tahun bekerja di bar cepat begitu berlalu. Setiap tahun sekali kepulangan saya ke kampung hampir setiap kali itu pula bisa melihat perubahan kondisi fisik rumah Sutris, meskipun dia tidak selalu ada disana. Entah dia sedang bekerja atau istirahat. Karena pekerjaannya di malam hari, nyaris siang hari dia manfaatkan untuk istirahat alias tidur! Selama itu pula saya melihat perkembangan fisik yang menggambarkan perbaikan status ekonomi keluarganya. Rumah gedek orangtuanya sudah dibongkar, dan diganti dengan tembok meskipun waktu itu yang saya lihat masih separuh saja yang sudah dibenahi. Lantai masih tanah. Saya turut senang melihatnya. Alhamdulillah, semoga Allah SWT menambahkan rejeki temanku ini yang berusaha membahagiakan hati orangtuanya yang selama ini didera kemiskinan. Begitulah yang doa yang tersimpan di hati ini. Sutris ingin sekali mengobati derita keluarganya dengan membagi sebagian rejeki yang diperolehnya. Saya tahu dia tidak sendirian dalam mengalami dilema ini. Masih banyak orang-orang seprofesi dengannya yang mengalami problematika yang mirip dengannya.
“Aku menikah!” katanya suatu hari. “Istriku orang Sunda. Dia bekas teman sekerja. Tapi sudah saya suruh berhenti bekerja. Cukup saya saja!” katanya suatu hari, menyentuh keharuan saya. Istri Sutris begitu sederhana. Suatu hari ketika saya bertamu, ibu dua anak ini sedikit menunduk-nunduk ketika menyuguhkan segelas teh di meja depan saya. Penampilan yang agak lusuh mengingatkan saya kepada nasib kedua anaknya.
“Mana anakmu Tris?” tanyaku. “Satu saya masukkan di pondok pesantren umur 9 tahun sekarang, dan satunya…sedang ada di belakang!” katanya suatu hari di pertengahan tahun 2003 lalu ketika saya pulang kampung. Sejak kepulangannya dari Surabaya dan berhenti sebagai seorang supervisor di bar, Sutris mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Sudah melamar kerja di berbagai hotel di kota tempat kami tinggal, namun tidak juga mengasilkan buahnya. Akhirnya, lewat bantuan salah satu kakak sepupunya, dia membeli sebuah sepeda motor, dan….mengojek hingga sekarang ini. Sesudah kelahiran anak pertamanya, sejak itu pula dia menggeluti dunia ojek sebagai satu-satunya sumber penghasilannya.
“Mengojek tidak lagi secerah dulu. Dulu masih sedikit orang yang punya sepeda motor. Tidak separah ini jumlah pengangguran. Namun sekarang?” Elaborasi Sutris setengah bertanya menghadapi salah satu kendala yang dihadapi para pengojek saat ini. Jumlah 200 orang pengojek untuk sebuah desa berpenduduk 15 ribu jiwa memang bukan sedikit. Disamping itu juga sudah banyak orang yang memiliki sepeda motor. Kalau sudah demikian “Siapa palanggan kami?”, katanya seolah protes. “Makanya saya berangkat pagi-pagi, hingga pulang nanti habis Maghrib!”
Sutris mengaku, meski ekonomi cukup sulit sekarang ini, akan tetapi hasil kerjanya adalah halal. Tidak seperti ketika dia bekerja di bar, hasil dari minuman keras. “Saya lebih tenang!” simpulnya. “Kehidupan lingkungan kami sekarang ini juga tidak terlalu bagus buat perkembangan anak-anak” ungkapnya menanggapi fenomena kenakalan anak-anak masa kini. Kualitas dan kuantitas kenakalan anak-anak menjadi bagian dari perhatiannya. Itulah salah satu alasan yang dikemukakan kepada saya kenapa dia harus kirimkan anaknya ke pondok pesantren. “Saya harus keluarkan sekitar Rp 250 ribu sebulan buat kepentingan anak saya. Padahal dari ojek saja, jika sudah mendapatkan Rp 10 ribu sehari, itu sudah beruntung untuk ukuran saat ini. Tapi alhamdulillah, rejeki dari Allah SWT selalu datangnya tak terduga. Dan itulah yang membuat batin ini tenang. Biarlah saya tempuh hidup seperti ini, yang penting anak-anak memperoleh pendidikan dasar agama yang tepat. Itu saja impian saya. Saya tidak ingin mereka mengalami nasib seperti yang pernah terjadi pada saya”.
Sutris sekarang berkacamata. Kekusutan yang ada di wajahnya besar kemungkinan karena pengaruh hempasan angin yang menerpanya setiap kali ia membonceng pelanggannya. Garis-garis ketuaan diwajahnya mulai nampak, mengakibatkan dia lebih tua dibanding usia dia sebenarnya. Sutris terlalu banyak memikirkan berbagai permasalahan yang selama ini menimpa keluarganya. Saya lihat rumahnya bagian belakang juga belum rampung digarap. Konsentrasinya sepertinya tertuju pada titik kehidupan lainnya. Sutris sedang menabur bubuk panasea terhadap luka yang pernah dideritanya beberapa tahun silam. Bubuk-bubuk pengobatan yang diharapkan mampu mengurangi rasa sakit, pertentangan batin sebagai umat Islam yang sedang menghadapi dilema kehidupan.
“Terimakasih sekali atas bantuannya”. Ucapnya suatu hari selepas Maghrib ketika saya sempat menemuinya untuk kali ketiga selama bulan Juni tahun lalu. Saya serahkan sejumlah bantuan dana untuk anak-anak sekolah dari keluarga yang kurang mampu atas nama sebuah organisasi Islam. “Kami minta maaf Tris, nggak bisa memberikan sumbangan dalam jumlah banyak, karena ada beberapa orang anak lain yang juga mengalami nasib yang sama dan membutuhkan bantuan. Kami berharap semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat!” begitu saya kemukakan kepadanya. Dihadapan kami, istrinya yang masih memegang baki pengalas teh, memperhatikan obrolan kami, sesekali memancarkan raut muka yang cerah. Melukiskan kesyukuran nikmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka secara tidak terduga.
Tujuh tahun pengalaman hidup di dunia bar sudah cukup lama membuat batin Sutris tersiksa. Sebagai pribadi dan seorang muslim dia pada dasarnya amat membenci dunia kerjanya saat itu. Di lain pihak, keluarganya menuntut kebutuhan yang tidak begitu saja bisa dibaikan karena kesempatan kerja yang sangat kompetitif. Apalagi dengan hanya bermodal ijazah SMA. Sutris begitu menyadari akan segala keterbatasan kompetensi yang dimiliknya untuk bertarung merebut sebuah pekerjaan. Ditambah lagi dengan beranjak usianya, perusahaan lebih memberikan prioritas kepada usia muda yang masih produktif. Beberapa kendala inilah yang membuat nyalinya ‘kecil’ untuk bisa segera memutuskan meninggalkan pekerjaannya di bar.
Allah SWT Mahabesar. Dia lah Yang membuka pintu hatinya, meski secara tidak langsung, yakni dengan bangkrutnya bar tempat dia bekerja. Doa Sutris terkabul! Dunia ojek yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, walaupun secara materi tidak terlalu menjanjikan, akan tetapi memberikan hikmah kepadanyas. Sebagai seorang kepala keluarga, betapa berat menyaksikan ketindaksanggupannya selama beberapa tahun sudah untuk menengok keluarga istrinya ke Jawa Barat karena keterbatasan finansial ini. Meski demikian ketenangan dan kedamaian yang diperoleh dari hasil mengojek sepertinya tidak bisa dinilai dan jauh diatas jumlah angka yang tertulis di belakang Rupiahnya. Sutris sudah mendapatkan obatnya. Disitulah nilai hikmahnya.
Kepuasan hidup memang amat relatif. Ditengah kesederhanaannya sebagai tukang ojek, Sutris menemukan sesuatu yang lebih indah dibanding gemerlap lampu disko sebuah bar. Layaknya orang yang sedang sakit yang sedang membutuhkan sebuah obat (panasea). Kemanjurannya tidak harus bergantung kepada kemahalan harganya, namun kandungan obat dan kemampuan tubuh dalam beradaptasi terhadapnya. Itulah yang dialami Sutris. Penghasilan lebih yang pernah diperolehnya kala bekerja di bar, ternyata tidak kuasa merajut ketenangan hidupnya, karena bertentangan dengan akidah Islam yang dianutnya. Sebaliknya, hanya dengan mengojek sebuah sepeda motor, dia bisa raih harapannya. Keseimbangan antara ibadah dan kepuasan kerja.
Hampir setiap pagi hari, Sutris selalu ada disana bersamaan dengan beberapa pengojek lain yang setia menanti pelanggan mereka, utamanya ibu-ibu yang akan ‘kulak’an’ orang Jawa mengistilahkan. Sutris melakukan kegiatan rutin sebagai tukang ojek ini sudah tidak kurang dari 10 tahun terakhir ini.
Bapak dua orang anak laki-laki ini teman sekelas di SD dulu. Kami bertetangga. Rumah kami hanya berjarak sekitar 50 meter. Bedanya, rumah orangtua Sutris terletak diujung jalan, di pinggir sawah dan pekarangan. Kala Maghrib tiba, saya yang waktu itu masih berusia sekitar 8 tahun, takut untuk pergi ke rumahnya sendirian, karena tidak ada listrik. Keluarga kami tergolong tidak punya, tapi orangtua Sutris lebih tidak mampu lagi. Rumahnya terbuat dari gedek berukuran sekitar 35 meter. Tidak ada perabotan rumah, kecuali amben bambu dan meja panjang yang ada di ruang tamu. Berlantai tanah dan beratap genteng tanpa langit-langit. Bocor? Tidak perlu dipertanyakan!
Sutris adalah anak ketiga dari 5 bersaudara, 4 laki-laki, seorang perempuan. Kami tidak terlalu dekat sebagai teman, namun saya tahu Sutris anak pintar sewaktu di SD. Dia hampir selalu menduduki rangking satu di setiap kelas. Sekolah lanjutan pertamanya ditempuh di sebuah sekolah Islam adalah hal lain yang membuat jarak kami menjadi semakin renggang. Sesudah itu saya tidak lagi mendengar prestasi belajarnya lagi karena sekolah dan kelompok belajar kami yang berbeda.
“Lulus SMA saya sempat berkeliling mencari kerja di Sumatera dan Kalimantan. Saya tidak melihat pekerjaan disana terlalu menjanjikan masa depan, hingga saya harus balik ke kampung!” jelasnya suatu hari ketika dia berkunjung ke rumahku. Sejak saya di perantauan, kami jarang sekali ketemu, setidaknya hanya setahun sekali. Kesempatan langka inilah yang kami gunakan untuk sharing. “Hampir setahun setelah pulang dari Kalimantan saya juga tidak menemukan pekerjaan. Akhirnya saya penuhi panggilan kerja sebagai waiter di sebuah bar di Surabaya”.
“ Bar?” kataku agak terkejut! Dunia bar yang saya tahu dari ceritera dan film-film tidak ubahnya dengan dansa, minuman keras, perjudian dan pebuatan non sosial lainnya. Singkatnya, saya tidak habis berpikir bagaimana orang seperti Sutris harus mencari penghasilan di dunia tersebut. “Saya bekerja rata-rata di malam hari. Siang hari tidur, dan malamnya melayani tamu-tamu disana”. Hal itu berlangsung selama 7 tahun. “Lama juga Tris”. Kataku. “Ya…..tapi kemudian saya diberhentikan karena perusahaan bangkrut!” “Alhamdulillah..!” Desahku tak terdengar olehnya. Sutris mengaku secara finansial kondisi keluarganya cukup tertopang dengan kerjanya di bar. Selain gaji, dia setiap hari dapat juga tips dan uang service lainnya. Tapi dari mana sumbernya? Subhanallah! Sutris ternyata sudah menyadari akan semua ini. Selama tujuh tahun, hidupnya dipenuhi dengan kegelisahan karena pertentangan batin. Dia dihadapkan antara kenyataan sulitnya hidup dengan aturan-aturan yang seharusnya dia penuhi dalam menjalankan dan larangan yang ada pada ajaran Islam. Di rumah, dia laksanakan sholat lima waktu, namun di dalam kerjaan dia serve tamunya dengan minuman keras, padahal hal ini dilarang oleh agama. Sutris mengetahui pula bahwa orang-orang yang terlibat dosa dalam persoalan minuman keras ini antara lain: yang menjual, yang membeli, ataupun yang menyajikan. Semuanya yang terlibat dalam transaksi serta peredarannya berstatus sama: berdosa!
Tujuh tahun bekerja di bar cepat begitu berlalu. Setiap tahun sekali kepulangan saya ke kampung hampir setiap kali itu pula bisa melihat perubahan kondisi fisik rumah Sutris, meskipun dia tidak selalu ada disana. Entah dia sedang bekerja atau istirahat. Karena pekerjaannya di malam hari, nyaris siang hari dia manfaatkan untuk istirahat alias tidur! Selama itu pula saya melihat perkembangan fisik yang menggambarkan perbaikan status ekonomi keluarganya. Rumah gedek orangtuanya sudah dibongkar, dan diganti dengan tembok meskipun waktu itu yang saya lihat masih separuh saja yang sudah dibenahi. Lantai masih tanah. Saya turut senang melihatnya. Alhamdulillah, semoga Allah SWT menambahkan rejeki temanku ini yang berusaha membahagiakan hati orangtuanya yang selama ini didera kemiskinan. Begitulah yang doa yang tersimpan di hati ini. Sutris ingin sekali mengobati derita keluarganya dengan membagi sebagian rejeki yang diperolehnya. Saya tahu dia tidak sendirian dalam mengalami dilema ini. Masih banyak orang-orang seprofesi dengannya yang mengalami problematika yang mirip dengannya.
“Aku menikah!” katanya suatu hari. “Istriku orang Sunda. Dia bekas teman sekerja. Tapi sudah saya suruh berhenti bekerja. Cukup saya saja!” katanya suatu hari, menyentuh keharuan saya. Istri Sutris begitu sederhana. Suatu hari ketika saya bertamu, ibu dua anak ini sedikit menunduk-nunduk ketika menyuguhkan segelas teh di meja depan saya. Penampilan yang agak lusuh mengingatkan saya kepada nasib kedua anaknya.
“Mana anakmu Tris?” tanyaku. “Satu saya masukkan di pondok pesantren umur 9 tahun sekarang, dan satunya…sedang ada di belakang!” katanya suatu hari di pertengahan tahun 2003 lalu ketika saya pulang kampung. Sejak kepulangannya dari Surabaya dan berhenti sebagai seorang supervisor di bar, Sutris mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Sudah melamar kerja di berbagai hotel di kota tempat kami tinggal, namun tidak juga mengasilkan buahnya. Akhirnya, lewat bantuan salah satu kakak sepupunya, dia membeli sebuah sepeda motor, dan….mengojek hingga sekarang ini. Sesudah kelahiran anak pertamanya, sejak itu pula dia menggeluti dunia ojek sebagai satu-satunya sumber penghasilannya.
“Mengojek tidak lagi secerah dulu. Dulu masih sedikit orang yang punya sepeda motor. Tidak separah ini jumlah pengangguran. Namun sekarang?” Elaborasi Sutris setengah bertanya menghadapi salah satu kendala yang dihadapi para pengojek saat ini. Jumlah 200 orang pengojek untuk sebuah desa berpenduduk 15 ribu jiwa memang bukan sedikit. Disamping itu juga sudah banyak orang yang memiliki sepeda motor. Kalau sudah demikian “Siapa palanggan kami?”, katanya seolah protes. “Makanya saya berangkat pagi-pagi, hingga pulang nanti habis Maghrib!”
Sutris mengaku, meski ekonomi cukup sulit sekarang ini, akan tetapi hasil kerjanya adalah halal. Tidak seperti ketika dia bekerja di bar, hasil dari minuman keras. “Saya lebih tenang!” simpulnya. “Kehidupan lingkungan kami sekarang ini juga tidak terlalu bagus buat perkembangan anak-anak” ungkapnya menanggapi fenomena kenakalan anak-anak masa kini. Kualitas dan kuantitas kenakalan anak-anak menjadi bagian dari perhatiannya. Itulah salah satu alasan yang dikemukakan kepada saya kenapa dia harus kirimkan anaknya ke pondok pesantren. “Saya harus keluarkan sekitar Rp 250 ribu sebulan buat kepentingan anak saya. Padahal dari ojek saja, jika sudah mendapatkan Rp 10 ribu sehari, itu sudah beruntung untuk ukuran saat ini. Tapi alhamdulillah, rejeki dari Allah SWT selalu datangnya tak terduga. Dan itulah yang membuat batin ini tenang. Biarlah saya tempuh hidup seperti ini, yang penting anak-anak memperoleh pendidikan dasar agama yang tepat. Itu saja impian saya. Saya tidak ingin mereka mengalami nasib seperti yang pernah terjadi pada saya”.
Sutris sekarang berkacamata. Kekusutan yang ada di wajahnya besar kemungkinan karena pengaruh hempasan angin yang menerpanya setiap kali ia membonceng pelanggannya. Garis-garis ketuaan diwajahnya mulai nampak, mengakibatkan dia lebih tua dibanding usia dia sebenarnya. Sutris terlalu banyak memikirkan berbagai permasalahan yang selama ini menimpa keluarganya. Saya lihat rumahnya bagian belakang juga belum rampung digarap. Konsentrasinya sepertinya tertuju pada titik kehidupan lainnya. Sutris sedang menabur bubuk panasea terhadap luka yang pernah dideritanya beberapa tahun silam. Bubuk-bubuk pengobatan yang diharapkan mampu mengurangi rasa sakit, pertentangan batin sebagai umat Islam yang sedang menghadapi dilema kehidupan.
“Terimakasih sekali atas bantuannya”. Ucapnya suatu hari selepas Maghrib ketika saya sempat menemuinya untuk kali ketiga selama bulan Juni tahun lalu. Saya serahkan sejumlah bantuan dana untuk anak-anak sekolah dari keluarga yang kurang mampu atas nama sebuah organisasi Islam. “Kami minta maaf Tris, nggak bisa memberikan sumbangan dalam jumlah banyak, karena ada beberapa orang anak lain yang juga mengalami nasib yang sama dan membutuhkan bantuan. Kami berharap semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat!” begitu saya kemukakan kepadanya. Dihadapan kami, istrinya yang masih memegang baki pengalas teh, memperhatikan obrolan kami, sesekali memancarkan raut muka yang cerah. Melukiskan kesyukuran nikmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka secara tidak terduga.
Tujuh tahun pengalaman hidup di dunia bar sudah cukup lama membuat batin Sutris tersiksa. Sebagai pribadi dan seorang muslim dia pada dasarnya amat membenci dunia kerjanya saat itu. Di lain pihak, keluarganya menuntut kebutuhan yang tidak begitu saja bisa dibaikan karena kesempatan kerja yang sangat kompetitif. Apalagi dengan hanya bermodal ijazah SMA. Sutris begitu menyadari akan segala keterbatasan kompetensi yang dimiliknya untuk bertarung merebut sebuah pekerjaan. Ditambah lagi dengan beranjak usianya, perusahaan lebih memberikan prioritas kepada usia muda yang masih produktif. Beberapa kendala inilah yang membuat nyalinya ‘kecil’ untuk bisa segera memutuskan meninggalkan pekerjaannya di bar.
Allah SWT Mahabesar. Dia lah Yang membuka pintu hatinya, meski secara tidak langsung, yakni dengan bangkrutnya bar tempat dia bekerja. Doa Sutris terkabul! Dunia ojek yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, walaupun secara materi tidak terlalu menjanjikan, akan tetapi memberikan hikmah kepadanyas. Sebagai seorang kepala keluarga, betapa berat menyaksikan ketindaksanggupannya selama beberapa tahun sudah untuk menengok keluarga istrinya ke Jawa Barat karena keterbatasan finansial ini. Meski demikian ketenangan dan kedamaian yang diperoleh dari hasil mengojek sepertinya tidak bisa dinilai dan jauh diatas jumlah angka yang tertulis di belakang Rupiahnya. Sutris sudah mendapatkan obatnya. Disitulah nilai hikmahnya.
Kepuasan hidup memang amat relatif. Ditengah kesederhanaannya sebagai tukang ojek, Sutris menemukan sesuatu yang lebih indah dibanding gemerlap lampu disko sebuah bar. Layaknya orang yang sedang sakit yang sedang membutuhkan sebuah obat (panasea). Kemanjurannya tidak harus bergantung kepada kemahalan harganya, namun kandungan obat dan kemampuan tubuh dalam beradaptasi terhadapnya. Itulah yang dialami Sutris. Penghasilan lebih yang pernah diperolehnya kala bekerja di bar, ternyata tidak kuasa merajut ketenangan hidupnya, karena bertentangan dengan akidah Islam yang dianutnya. Sebaliknya, hanya dengan mengojek sebuah sepeda motor, dia bisa raih harapannya. Keseimbangan antara ibadah dan kepuasan kerja.
0 Tanggapan untuk "Menabur Serbuk Panasea Hati"
Post a Comment